Robert Wolter Monginsidi

0
50

Inspirasi ( Duta Lampung Online)- Ini adalah Inspirasi Sejarah Yang bercerita tentang kepahlawanan Jenderal Besar TNI Soedirman dan Brigadir Jenderal TNI I Gusti Ngurah Rai.

Malam ini saya akan bercerita tentang kepahlawanan anak muda dari Manado, Sulawesi Utara yaitu Robert Wolter Mongisidi.

Kampung halaman Robert Wolter Mongisidi di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Setelah beberapa saat hijrah ke Makassar, terhenyak karena kemerdekaan yang baru dinikmati sesaat tiba-tiba terancam. Belanda datang lagi dengan wujud anyar: Netherlands Indies Civil Administration alias NICA dengan tujuan berkuasa kembali di Indonesia.

Darah muda mantan guru di kampung halamannya ini mendidih dan dengan tegas ia memutuskan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di usianya yang masih remaja.

Robert Wolter Mongisidi turut dalam pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946.

Meski masih belia, keberanian pemuda kelahiran 14 Februari 1925 sudah teruji. Beberapa kali ia turut dalam peperangan melawan NICA yang bersenjatakan lebih canggih.

Kecakapan inilah yang membuatnya dipercaya menjadi salah satu pimpinan LAPRIS. Ia memimpin pasukan sendiri untuk memberikan tekanan terhadap Belanda di Makassar dan sekitarnya.

Salah satu aksinya adalah saat menghadap dan memberhentikan jip militer milik Belanda bersama tiga orang teman lainnya. Mongisidi lalu menodongkan pistol ke arah kepala satu-satunya orang yang ada di mobil itu, seorang kapten.

Seragam dan tanda pangkat sang kapten dilucuti, lalu dikenakan Mongisidi.

Mobil pun diambil-alih, Mongisidi dan seperkawanan menjalankannya ke arah tangsi. Tak dikenali, mereka berhasil masuk ke kandang musuh. Suasana mendadak riuh saat Mongisidi memberondongkan senapannya ke area tangsi.

Para penghuninya pun panik, bubar, dan lari menyelamatkan diri ke segala penjuru.

Aksi heroik Mongisidi lainnya terjadi sepanjang pekan ketiga Januari 1947. Pasukannya terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda dan berhasil memukul mundur lawan.

Beberapa hari kemudian, terjadi saling tembak- menembak lagi. Mongisidi nyaris saja tertangkap, tapi lolos.

Serangkaian perlawanan itu membuat Belanda mengenali sosok Mongisidi dan menggelar beberapa kali razia besar-besaran untuk menangkapnya. Tanggal 28 Februari 1947, ia terjaring dan dipenjarakan.

Tetapi pada 27 Oktober 1947 berhasil melarikan diri. Mongisidi mulai kembali menyerang pos-pos Belanda. Namun setahun berselang, Mongisidi tertangkap untuk kedua kali lalu kemudian diadili.

Beliau dengan tegar mengakui dakwaan sebagai pemimpin pemberontak, dan bahkan saat dijadikan saksi dalam persidangan teman-temannya yang juga tertangkap dan diadili, ia menyatakan bahwa apa yang dituduhkan adalah tanggung jawab beliau dengan mengatakan: “Mereka berbuat atas perintah saya, maka sayalah yang bertanggung jawab.”

Dalam sidang terakhir, tanggal 26 Maret 1949, hakim menjatuhkan putusan hukuman mati kepada Wolter Mongisidi yang akan dilaksanakan pada tanggal 5 September 1949.

Surat keputusan tersebut langsung disetujui dan ditandatangani beliau. Padahal Belanda kerap membujuk Mongisidi agar mau bekerja sama, tapi ia selalu tegas menolak.

Kepada Dr. Soumokil yang menjadi Menteri Kehakiman, beliau pernah berkata: “Hukum matilah saya, jika tidak, kamu nanti yang saya bunuh pertama kali.” Kepada anggota regu penembak saat pelaksanaan hukuman mati, sebelumnya beliau sempat mengatakan: “Jalankan kewajibanmu, dan tembaklah dengan tepat.” Dan selesai pelaksanaan, selanjutnya beliau dimakamkan dalam sebuah lubang yang dangkal.

Dalam Kitab Suci yang dijadikan bantal Wolter Mongisidi, ditemukan secarik kertas tulisan tangan yang berbunyi: “Setia hingga akhir di dalam keyakinan.”

Robert Wolter Mongisidi selama menunggu pelaksanaan hukuman mati banyak menyampaikan pandangan-pandangan beliau, yang tersirat dalam surat-surat yang sempat dikirimkan kepada keluarga dan teman-temannya.

Beberapa di antaranya dapat diketahui dari beberapa penggalan kalimat dalam surat-surat beliau sebagai berikut:

“Semua air mata dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu pondasi yang kokoh untuk tanah kita yang dicintai, Indonesia.” (Surat kepada Nina dan familinya tanggal 7 Juni 1949).

“Jangan takut melihat masa yang akan datang, saya telah turut membersihkan jalanan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.” (Surat kepada Marie adiknya tanggal 3 September 1949).

“Apa yang saya bisa tinggalkan hanya rohku saja, yaitu roh setia hingga terakhir kepada tanah air, dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apa pun menuju cita-cita kebangsaan yang tetap.” (Surat kepada Opie adiknya September 1949).

Robert Wolter Mongisidi telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian dan pendirian yang teguh serta keberanian yang kokoh, dengan semangat rela berkorban yang tulus ikhlas, walau harus gugur dalam usia yang masih sangat muda (24 tahun).

Beliau sama sekali tidak gentar menjalani proses persidangan yang penuh dengan penyiksaan dan berkepanjangan, serta ancaman dan bahkan putusan hukuman mati terhadap beliau.

Bahkan beliau membuktikan diri sebagai pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri serta memiliki kesetiaan terhadap anak buah dan temannya, yaitu dengan mengambil alih semua tanggung jawab atas dakwaan dan ancaman hukum yang ditujukan kepada mereka.

Sikap dan tindakan Robert Wolter Mongisidi telah memberikan kepada generasi bangsa Indonesia berikutnya suatu warisan nilai-nilai kepemimpinan penuh keteladanan dan kepahlawanan, yang berani mengorbankan segala-galanya demi kehormatan dan kejayaan bangsa, yang menjadi landasan harga diri dan kebanggaan untuk generasi- generasi pemimpin bangsa berikutnya.

Robert Wolter Mongisidi sosok anak muda yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan berani dan terhormat selalu pengingat kita untuk tidak menyerah dalam pengabdian kepada bangsa dan negara dalam mengisi kemerdekaan sehingga cita-cita kemerdekaan dapat terwujud dan rakyat bisa tersenyum bahagia.( SHDt / BBS)(*)