ASPEK KEUANGAN desa yang sangat memprihatinkan selama ini, telah membuat desa-desa di Republik ini terbelenggu dalam ketertinggalannya. Alokasi Dana Desa (ADD) selama ini dengan jumlah yang minim membuat desa-desa yang jumlahnya sekitar 72.944 desa mengalami kesulitan dalam membangun diri.
UU menjanjikan alokasi dana cukup besar yakni Rp 1 miliar lebih per desa, yang katanya akan bergulir mulai 2017. Dengan demikian, impian bahwa desa akan menjadi pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi rakyat secara perlahan tapi pasti akan terwujud.
Sumber Anggaran Jumlah dana desa rata-rata di atas Rp 1 miliar per desa sudah pasti bukan angka kecil. Pemerintah harus bisa memastikan darimana asal muasal sumber anggaran, sebelum sampai kepada tataran implementasi UU yang telah dikeluarkan.
Mengingat UU dana desa disusun atas ambisi politik para politisi tanpa mengetahui secara pasti asal muasal sumber anggaran, maka tergesa-gesa dalam mengimplementasikan UU justru akan menyulitkan pemerintah sendiri.
Terbersit berbagai spekulasi yang menyiratkan asal-muasal sumber dana, yang konon besarnya 10 persen dari dana transfer ke daerah. Pertama, mengintegrasikan seluruh dana yang tersebar di setiap kementerian/lembaga pusat, yang memiliki program berbasis desa.
Jika konsep ini yang dipakai, sangat boleh jadi beberapa dana kementerian sektoral yang berbasis desa, yang selama ini termasuk dalam dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan dan dana urusan bersama, diintegrasikan ke dalam dana transfer ke daerah dan dialokasikan menjadi dana desa.
Tentu, inventarisasi dana-dana sektoral berbasis desa, harus benar-benar dipastikan agar Pemerintah Pusat memiliki data akurat terhadap jumlah nominal dana tersebut. Dengan
demikian, dana transfer ke daerah pada setiap pemda akan bertambah, terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK).
Alokasi dana desa (ADD) yang masuk dalam komponen dana transfer ke daerah bersifat memaksa bagi Pemda untuk direalisasikan ke desa. Jika pemda lalai dalam merealisasikannya atau realisasi tidak sesuai kuota alokasi, maka Pemerintah Pusat bisa saja menerapkan politik anggaran, yaitu langsung memotong sebagian dana yang ditransfer ke daerah, sebesar sejumlah hak pemerintah desa sesuai dengan kuota alokasi.
Kedua, jika format pertama gagal, Pemerintah Pusat terpaksa harus menciptakan sumber alokasi baru dalam belanja APBN. Mungkinkah itu berarti harus diciptakan jenis belanja baru dalam struktur APBN kita, tentu kita tunggu saja.
Satu hal yang pasti, dana desa dengan angka yang cukup signifikan itu, otomatis menambah beban APBN. Pemerintah Pusat pasti bekerja keras untuk meningkatkan penerimaan
negara. Porsi penerimaan dari sektor pajak dan bukan pajak tentu diperbesar.
Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak akan menjadi agenda penting aparat Direktorat Jenderal Pajak. Mengingat masih minimnya wajib pajak, sudah tentu upaya menjaring wajib pajak baru menjadi pilihan wajib. Hingga saat ini, perumusan regulasi yang berkaitan dengan sumber dana dan tata cara penyalurannya belum usai.
Banyak pihak menyarankan agar proses perumusan regulasi yang diperkirakan cukup pelik itu mesti dilakukan secara matang dan jauh dari kesan tergesa-gesa. Dikatakan cukup pelik karena berkaitan dengan tata cara pengelolaan anggaran di tingkat desa, demikian pulasistem akuntansi dan pelaporannya.
Penyaluran dan Pelaporan Keuangan Lahirnya UU Desa yang mengakomodir dana desa dalam jumlah yang signifikan menimbulkan beberapa pilihan pelik dalam tataran pelaksanaan, terutama yang berkaitan dengan mekanisme penyaluran dana.
Pilihan pertama, dana ADD disalurkan dari rekening Bendahara Umum Negara (BUN) ke rekening Bendahara Umum Daerah (BUD). Jadi, diciptakan semacam jenis belanja baru yaitu jenis belanja transito daerah.
Dalam hal ini, kepala desa menarik dana ADD dari rekening BUD secara bertahap. Jika kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai pengguna anggaran sesuai UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka kepala desa bisa diposisikan sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA). Dengan demikian, maka rekening yang dibuka di desa berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa adalah rekening Bendahara Pengeluaran.
Terkait dengan dimensi penatausahaan dan pertanggung jawaban keuangan desa, UU Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa KPA bertanggung jawab secara formal dan material kepada pengguna anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
Hal itu berarti kepala desa sebagai KPA bertanggung jawab kepada pengguna anggaran, yaitu seorang kepala SKPD terkait. Pilihan kedua, dana ADD langsung ditransfer dari rekening BUN ke rekening kas desa.
Pilihan ini kontradiksi dengan UU Nomor 1 Tahun 2004. UU tersebut tidak mengatur tentang rekening kas desa/bendahara umum desa, tetapi hanya mengatur tentang BUN dan BUD. Pilihan ketiga, penarikan dana ADD disamakan dengan alur penarikan dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan dan dana urusan bersama.
Jika pilihan ini menjadi acuan, maka semua mekanisme pembayaran mengikuti Standar Operating Prosedur (SOP) pada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)-Kementerian Keuangan.
SDM Perangkat Desa Hal lain yang tidak kalah penting yaitu tiap desa harus dibentuk pejabat perbendaharaan agar senapas dengan UU Nomor 1 Tahun 2004. Pejabat perbendaharaan itu terdiri dari KPA, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pejabat penguji dan penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM) dan bendahara pengeluaran/ penerimaan.
Terkait dengan tata kelola pelaporan keuangan, hal prinsip yang patut dibenahi adalah kapasitas dan kualtas sumber daya manusia para perangkat desa. Tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan kepala desa dan perangkatnya tentang tata kelola ADD sampai saat ini masih sangat “gelap”.
Andaikan audit BPK dapat menjangkau sampai ke desa, niscaya terdapat banyak temuan deviasi. Gelapnya pemahaman terhadap klasifikasi jenis belanja dan peruntukannya, menyebabkan banyak bukti pengeluaran belanja yang tidak efektif.
Sebagai contoh, dana belanja modal digunakan untuk beli sapi dan kambing untuk upacara pengresmian gereja dan mesjid. Dana belanja modal digunakan untuk HUT desa, Sekelumit contoh ini mengindikasikan, banyak akun belanja yang tidak selektif masih tertumpuk di desa hingga saat ini.
Sampai di sini, kapasitas dan efektivitas pengawasan dari institusi pengawasan internal pemda sudah mulai diragukan. Gambaran singkat ini, paling tidak membuat kita harus waspada dan berhatihati dalam tata kelola ADD yang sudah di pelupuk mata dalam jumlah besar.
Maka, sebelum implementasi yang efektif terhadap aspek keuangan desa benar-benar diberlakukan, patut dilakukan transfer of knowledge mengenai tata kelola keuangan dan pelaporannya, terhadap para perangkat desa.
Jika tidak, maka dapat disaksikan korupsi yang lebih besar lagi akan marak di desa. Mengharapkan KPK dan jaksa yang sangat terbatas secara kuantitas masuk ke desa-desa untuk menangkap para koruptor dan memeriksa kuitansi-kuitansi belanja yang tidak berkualitas, pasti sangat tidak mungkin.
Harapan kita tentunya, harus ada formula yang pasti dari pemerintah daerah untuk membuat institusi pengawasan internal berfungsi efektif, sehingga KPK dan jaksa tidak perlu repot turun ke desa. Kita percaya bahwa regulasi turunan atas UU Desa yang kini tengah digodok kiranya dapat mengakomodir secara sempurna segala sesuatu yang selama ini dirisaukan.(*)