REFORMASI sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia bertujuan untuk mengembalikan cita-cita proklamasi seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak selalu berkaitan dengan penolakan akan kemapanan dan konservatisme, melainkan harus dipandang dan diperlakukan sebagai subsistem dalam proses dinamika mencapai tujuan.
Pada awal reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan berakhirnya rezim pemerintahan orde baru, kita bisa melihat dengan jelas ada empat agenda reformasi dalam rangka revitalisasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu mendapat perhatian:
memulihkan, agar setiap orang dapat menggunakan secara wajar hak-hak demokratis, hak-hak yang terkandung dalam prinsip negara konstitusional dan negara berdasarkan atas hukum;
reformasi diarahkan pada usaha pemberdayaan suprastruktur dan infrastruktur politik agar benar-benar menjadi wahana perjuangan mewujudkan dan melaksanakan tatanan demokrasi (antara lain yang telah diselenggarakan adalah pemilihan umum yang bebas (1999) serta kebebasan mendirikan partai);
reformasi birokrasi atau administrasi negara (administrative reform), yaitu melepaskan birokrasi dari ikatan politik primordial dari kekuatan politik tertentu yang menimbulkan berbagai kecemburuan politik; dan reformasi ekonomi, seperti peniadaan monopoli dan membangun sistem ekonomi kerakyatan.
Menurut konteks di atas kebebasan mendirikan partai politik adalah bagian esensial dari hak konstitusional yang telah dirumuskan oleh founding fathers dalam UUD 1945. Peraturan perundang-undangan bidang politik tentu menggunakan prinsip “kemerdekaan berserikat dan berkumpul”, yang digariskan dalam konstitusi. Hal itu sejalan pula dengan pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik (civil and political rights) dalam instrumen hukum internasional, yang kemudian dimasukkan dalam amendemen UUD 1945 dengan penyisipan Bab XA “Hak Asasi Manusia”.
Sejalan dengan dinamika politik terutama sejak reformasi, yang dimulai dengan perubahan dan penambahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang berarti penataan kembali legislasi partai politik dengan membentuk undang-undang partai politik yang baru merupakan keharusan yang tidak mungkin dihindari.
Sejak 4 Januari 2008 berlaku Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, menggantikan Undang-undang Nomor 31 tahun 2002. Alasan penggantian undang-undang lama antara lain adalah belum optimalnya UU 31/2002 mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik (parpol) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui UU 2/2008 diharapkan pula pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan parpol, yang menyangkut domokratisasi internal parpol, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan parpol, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan parpol dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara.
Di antara substansi UU 2/2008 yang menarik untuk dianalisa adalah ketentuan mengenai pembentukan parpol yang mengokohkan kembali sistem multipartai yang telah diatur sebelumnya.
Infrastruktur politik terpenting dalam negara demokrasi adalah partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Meskipun dalam kajian tentang politik terdapat berbagai konsep mengenai definisi partai politik, namun hukum positif di Indonesia mengartikan partai politik sebagai “organisasi yang bersifat nasional yang dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Perubahan regulasi yang menempatkan partai politik sebagai “organisasi yang bersifat nasional” diharapkan dapat mengubah paradigma politik sekelompok kecil masyarakat yang gemar mendirikan partai politik.
Undang-undang berfungsi sebagai “a device of social engineering”, dalam hal ini tujuan regulasi partai politik dimaksudkan untuk membatasi kebebasan warga negara mendirikan partai dengan menetapkan persyaratan yang lebih ketat. Persyaratan dimaksud antara lain melalui ketentuan mengenai “pembentukan partai politik” serta organisasi dan kedudukan” partai politik. Dengan demikian para kandidat deklarator politik harus benar-benar berusaha memperoleh dukungan publik secara nasional sebelum pembentukan partai diumumkan.
Di samping itu, pendaftaran partai politik ke Departemen Hukum dan HAM untuk memperoleh status sebagai badan hukum (rechtspersoon) mengharuskan partai politik menempuh proses penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran semua keterangan dalam Anggaran Dasar yang tercantum akta notaris dan persyaratan lain yang diperlukan untuk menetapkan status partai sebagai badan hukum. Regulasi yang lebih ketat tersebut mungkin berdasarkan pengalaman sebelumnya tentang banyaknya kelompok masyarakat yang mengajukan pendaftaran partai politik. Pada tahun 2003 terdapat 112 partai politik yang mendaftar di Departemen Hukum dan HAM untuk diverifikasi, 84 di antaranya memenuhi syarat diverifikasi. Dan, dari 84 partai politik yang diverifikasi itu, hanya 50 yang memenuhi syarat untuk disahkan sebagai badan hukum.
Jelaslah bahwa politik hukum nasional melakukan pengaturan partai politik dengan cara memberikan kebebasan warga negara mendirikan partai, dengan kebijakan yang masih longgar dan liberal meskipun agak lebih ketat dibanding dengan UU 31/2002 yang telah dicabut.
Politik hukum yang mempertahankan sistem multi partai seperti tersirat dari pengaturan mengenai pembentukan partai politik tentu telah dipertimbangkan secara matang oleh pembentuk undang-undang. Dengan memperhatikan tipe partai politik yang dikenal, yaitu (i) sistem partai partai tunggal; (ii) sistem dwi partai; dan (iii) sistem multipartai, tampaknya pilihan yang ketiga ini paling banyak diterapkan di berbagai negara yang menganut paham demokrasi (Eropa, Asia, Afrika, dan Latin Amerika). Sistem kepartaian jelas tidak hanya menentukan susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD melainkan juga sistem pemerintahan.
Konsekuensi sistem multi partai tidak hanya mempengaruhi mekanisme dan efisiensi pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah di DPR atau DPRD, melainkan juga birokrasi pemerintahan yang harus dipegang oleh banyak orang sebagai representasi dari partai politik yang menang dalam pemilihan umum. Wakil-wakil rakyat yang duduk di legislatif dan pemerintahan akan memperjuangkan aspirasi para pendukungnya yang sangat aneka ragam
Di antara dampak sistem multipartai yang penting untuk dicatat adalah keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), yang dalam praktik di masa lalu banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan stratejik karena mempertimbangkan banyak faktor. C. Cumming menulis: “The existence of several parties can make it more difficult to form a stable governing coalition than is the face in two-party sistems.” Selanjutnya, “… such coalition are often fragile. At one extreme, governments fall repeteadly, and a country with a multiparty system may have three, or four, or more governments in one year.
Pada era demokrasi parlementer (1955 – 1959) apa yang dinyatakan Cumming terbukti benar. Betapa sering terjadi pergantian kabinet, sehingga instabilitas pemerintahan itu menyebabkan peluang untuk melaksanakan pembangunan menjadi terabaikan. Atas dasar pengalaman seperti itu pula, pada masa orde baru, Presiden Soeharto menempuh kebijakan sistim multipartai terbatas, dengan mendorong fusi partai-partai politik (hasil pemilihan umum 1969) sehingga hanya ada tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), sehingga fraksi DPR/DPR sederhana menjadi 4 fraksi saja (dengan mengangkat fraksi ABRI).
Lebih jauh pandangan dan analisis ahli ilmu politik, mengingatkan pula bahwa sistem multipartai yang dipakai sebagai sarana memodernisasikan masyarakat di negara sedang berkembang, relatif menumbuhkan instabilitas dari pada di negara yang menganut sistem dua partai. Pada hakekatnya sistem multi partai itu kalau kita kaji bisa kita simpulkan bahwa tidak banyak berbeda dengan tiadanya partai dalam masyarakat.
Wallahu ‘alam bi muradih
Oleh : TEUKU IMRAN