DUTA LAMPUNG ONLINE-Tertangkapnya buron bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono pekan lalu memberikan harapan megaskandal itu diungkap lebih dalam.
Sudah hampir 15 tahun berjalan, kasus BLBI belum menyentuh tokoh penting. Padahal, dalam persidangan, sejumlah nama pejabat disebut-sebut terlibat.
Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun dari Rp 144,536 triliun BLBI yang disalurkan.
Kredit itu diberikan kepada 48 bank. Perinciannya, 10 bank beku operasi, 5 bank takeover, 18 bank beku kegiatan usaha, dan 15 bank dalam likuidasi.
Hasil audit BPK memerinci sebelas bentuk penyimpangan sebesar Rp 84,842 triliun. Yaitu, BLBI digunakan untuk melunasi modal pinjaman, melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Penyimpangan lainnya adalah membayar kewajiban pihak terkait, serta transaksi surat berharga pembayaran dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, kerugian karena kontrak derivatif;
pembiayaan placement baru pasar uang antarbank (PUAB); pembiayaan ekspansi kredit; pembiayaan investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, rekrutmen; peluncuran produk dan pergantian sistem; pembiayaan overhead bank umum; dan pembiayaan rantai usaha lainnya.
Manajer Advokasi-Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengatakan, penangkapan buron Samadikun Hartono belum lama ini bukanlah titik awal, melainkan titik akhir penentuan apakah kasus tersebut akan tuntas.
Selain Samadikun, saat ini masih ada 33 orang lain yang dikejar dalam kasus BLBI.
“Ini harus diterbitkan sprindik (surat perintah penyidikan, Red) baru. Kalau tidak ada sprindik baru, kasus ini akan hilang,” kata Apung di kantornya, Jakarta.
Dia mengatakan, sprindik baru diawali dengan pengusutan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di pusaran korupsi tersebut. Pengembalian aset, menurut dia, justru sulit dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Salah satu yang konkret bukan hanya pengembalian aset, tapi TPPU. Duit negara kan dia (Samadikun) olah selama 13 tahun,” kata Apung. Seperti dilansir dari Repelita.
Menurut Apung, kerugian dalam kasus BLBI yang semula bernilai Rp 650 triliun pada 1998 terus membengkak hingga Rp 2.000 triliun pada 2015.
Hingga kini, kerugian negara akibat korupsi itu masih menjadi beban bagi negara dan masyarakat. Bahkan, kerugian diprediksi masih harus ditanggung negara hingga 2043.
Kejahatan itu, menurut dia, menjadi penyebab defisit yang berujung pada ketergantungan terhadap utang luar negeri.
“Setiap tahun kita terus bayar pajak untuk menutupi bunga BLBI ke negara-negara yang memberikan pinjaman. Jangan sampai masyarakat terus dibebani,” tutur Apung.(Rpt).