Swakelola atau Penyedia?

0
276
M. Nurullah RS (Pimpinan Umum/Redaksi, Duta Lampung dan Duta Lampung Online).

SALAH SATU pertanyaan yang sering diajukan kepada penulis adalah “pak, sekarang anggaran sudah ada, ini pelaksanaannya pakai swakelola atau pihak ketiga pak?”

Terus terang, menghadapi pertanyaan seperti ini, penulis jadi bingung sendiri dan bertanya kembali “memangnya waktu nyusun rencana umum pengadaan tidak ditetapkan cara pengadaannya terlebih dahulu?”

Dan biasanya jawabannya adalah “tidak.”

Inilah potret kemampuan Pengguna Anggaran dalam menyusun rencana umum pengadaan barang/jasa pemerintah. Semua dilakukan tanpa pemahaman yang mendalam sehingga akhirnya bingung sendiri pada saat pelaksanaan pekerjaan.

Sebelum terlalu dalam, penulis juga mengkritisi istilah “pihak ketiga” yang sering digunakan untuk menggambarkan penyedia barang/jasa. Hal ini karena dalam pelaksanaan pekerjaan, yang mengikat perjanjian hanyalah 2 pihak, yaitu pihak K/L/D/I dan pihak penyedia barang/jasa. Jadi siapa yang dimaksud pihak ketiga? Jangan-jangan kena istilah, “apabila ada 2 orang yang bukan muhrimnya berdua-duaan, maka pihak ketiga adalah…. (isi sendiri titik-titiknya)”

Berdasarkan Pasal 22 dan Penjelasan Pasal 22 Ayat 3 Huruf c angka 3, salah satu tugas Pengguna Anggaran (PA) adalah menetapkan cara pengadaan barang/jasa, apakah akan menggunakan swakelola atau melalui penyedia barang/jasa. Penetapan ini merupakan bagian dari rencana umum pengadaan yang disusun sebelum penyusunan dokumen anggaran. Hal ini karena Pengguna Anggaran berdasarkan identifikasi kebutuhan yang telah dilakukan seharusnya juga memahami kekuatan sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa.

Apa itu swakelola?

Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain, dan/atau kelompok masyarakat.

Dari pengertian ini terlihat bahwa swakelola bersifat mandiri dan dikerjakan oleh diri sendiri, bukan melalui penyedia. Jadi, apabila tetap menggunakan penyedia barang/jasa, misalnya toko, kontraktor, konsultan, tenaga ahli dari swasta, PT, CV, dan lain-lain, maka itu bukanlah swakelola.

Swakelola bukan berarti dikelola sendiri. Bukan berarti diberikan uang, kemudian beli sendiri ke toko. Karena kalau sudah membeli ke toko, artinya sudah menggunakan penyedia, dimana toko inilah yang menjadi penyedianya.

Dibawah ini adalah kasus yang sering terjadi:

Sebuah sekolah, diberikan bantuan dana dari APBN atau APBD untuk pengadaan meubelair sejumlah Rp. 300 Juta. Dalam petunjuk teknis (juknis) disebutkan bahwa pengadaannya dilaksanakan dengan cara “swakelola” sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Karena melihat juknis ini, maka Kepala Sekolah segera mencairkan anggaran yang telah diterima melalui rekening sekolah, kemudian mendatangi toko meubelair terdekat dari beberapa toko yang ada, kemudian membelanjakan semua uang tersebut untuk membeli meubelair untuk sekolahnya. Ini dengan alasan bahwa yang namanya swakelola adalah “dikelola sendiri.”

Pemahaman ini adalah pemahaman yang tidak benar. Kalau sudah membutuhkan penyedia, itu berarti sudah bukan swakelola lagi, dan pemilihan penyedianya harus menggunakan metode pemilihan penyedia. Beberapa metode pemilihan penyedia adalah pelelangan umum, pelelangan sederhana atau pemilihan langsung.

Mengapa Swakelola yang dipilih?

Pelaksanaan pengadaan dapat dilakukan secara swakelola apabila memenuhi salah satu dari kondisi yang tertuang dalam Pasal 26 Ayat 2 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya berikut ini:

  1. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia, serta sesuai dengan tugas dan fungsi K/L/D/I;
  2. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I. Yang dimaksud dengan partisipasi langsung masyarakat setempat antara lain pekerjaan pemeliharaan saluran irigasi tersier, pemeliharaan hutan/tanah ulayat, atau pemeliharaan saluran/jalan desa;
  3. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa, misalnya pelaksanaan pengadaan di daerah konflik;
  4. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar;
  5. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan;
  6. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/ metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa;
  7. pekerjaan survei, pemrosesan data (misalnya sensus dan statistik), perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
  8. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat rahasia adalah pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan negara yang tidak boleh diketahui dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, antara lain pembuatan soal-soal ujian negara. Disini dilihat bahwa yang bersifat rahasia adalah pembuatan soalnya, bukan pencetakannya.

Yang perlu diingat, bahwa walaupun kondisi tersebut terpenuhi, artinya pelaksanaan pengadaan dapat dilakukan dengan cara swakelola, di dalamnya bisa saja terdapat penyedia barang/jasa.

Misalnya, dalam pelaksanaan penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan, seluruh kegiatan memang dilaksanakan secara swakelola. Panitia berasal dari K/L/D/I sendiri, perencanaan dilaksanakan sendiri, juga pengawasan dilaksanakan sendiri. Namun, apabila membutuhkan jasa katering, dimana katering tersebut disediakan oleh perusahaan makanan, maka hal ini tetap menggunakan penyedia, dan untuk memilihnya wajib menggunakan metode pemilihan penyedia yang sesuai. Artinya, apabila pelaksanaan lokakarya membutuhkan katering yang bernilai di atas 200 Juta, maka tetap dilakukan pelelangan. Apabila dilaksanakan di hotel, maka dapat dilakukan penunjukan langsung dengan tata cara yang sesuai dengan aturan pengadaan barang/jasa.

Kapan Penetapan Swakelola atau Penyedia dilakukan?

Pemilihan metode pengadaan dilakukan pada saat penyusunan rencana umum pengadaan dan dilaksanakan sebelum penyusunan anggaran. Metode ini sudah harus tertuang dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Term of Reference (TOR) yang disusun sebagai persyaratan untuk penyusunan anggaran.

Hal ini karena konsekwensi dari metode tersebut berujung kepada struktur anggaran yang akan dimasukkan dalam rencana kerja dan anggaran tahun berikutnya.

Misalnya, apabila pelaksanaan lokakarya akan dilakukan dengan cara swakelola, maka dalam KAK dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) sudah harus diuraikan tugas dan fungsi masing-masing pihak yang akan terlibat. Kemudian RAB ini dimasukkan sebagai bagian dari dokumen anggaran. Dalam dokumen aanggaran juga sudah terurai komponen akomodasi dan konsumsi, honorarium panitia, narasumber, Alat Tulis Kantor (ATK), dan berbagai pernak-pernik lainnya. Namun apabila hendak menggunakan penyedia, maka dalam RAB walaupun diuraikan secara detail, namun dalam dokumen anggaran hanya dimasukkan dalam 1 mata anggaran secara gelondongan. Rincian RAB akan berubah menjadi rincian HPS yang sifatnay rahasia, sedangkan total RAB menjadi total anggaran yang masih harus disusun HPS-nya dan kemudian dilakukan pemilihan terhadap penyedia menggunakan metode pemilihan yang sesuai (Pelelangan, Penunjukan Langsung, atau Pengadaan Langsung).

Dalam Aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) yang dikembangkan oleh LKPP juga sudah membagi metode pengadaan sejak awal, sehingga tidak ada lagi pertanyaan setelah dokumen anggaran diterima, “ini dilaksanakan dengan cara swakelola atau penyedia yah?”

Siapa saja pelaksana swakelola?

Berdasarkan Pasal 26 Ayat 1 Perpres Normo 54 Tahun 2010 dan perubahannya, pelaksana swakelola ada 3, yaitu K/L/D/I penanggung jawab anggaran, Instansi Pemerintah lain, dan Kelompok Masyarakat.

Apabila pelaksana swakelola adalah K/L/D/I penanggung jawab anggaran, maka perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dilakukan sendiri oleh K/L/D/I tersebut. Contohnya, pengangkutan sampah dilakukan oleh Dinas Kebersihan, atau lokakarya yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun seperti yang disampaikan pada tulisan di atas, apabila dalam pelaksanaan kegiatan membutuhkan penyedia, maka metode pemilihan penyedia sesuai Perpres juga tetap harus dilaksanakan.

Pelaksana kedua adalah instansi pemerintah lain. Yang perlu digarisbawahi adalah, pelaksana wajib berupa instansi pemerintah, bukan swasta dan bukan juga instansi yang “mengaku-ngaku pemerintah.” Contoh instansi pemerintah adalah Perguruan Tinggi Negeri, Lembaga Negara, atau Institusi Pemerintah seperti BPPT, Bakosurtanal, dan lain-lain.

Apabila pengadaan dilaksanakan oleh instansi pemerintah, maka anggaran biaya yang digunakan harus tunduk kepada acuan pemerintah juga. Misalnya untuk honorarium, maka harus tunduk kepada aturan Kementerian Keuangan mengenai standar biaya masukan atau acuan dari instansi terkait. Konsultan yang berasal dari Perguruan Tinggi, harus mau dibayar menggunakan acuan tersebut, tidak bisa menggunakan acuan konsultan swasta. Apabila hendak dibayar senilai konsultan swasta, maka harus cuti di luar tanggungan negara terlebih dahulu kemudian terjun secara penuh melaksanakan pekerjaan konsultan.

Dalam penyusunan KAK dan Anggaran, Pengguna Anggaran (PA) dapat langsung menetapkan instansi pemerintah yang menjadi target dan sasaran kerjasama. Hal ini didahului dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) terlebih dahulu sebagai landasan legal kerjasama. Sehingga nama instansi pemerintah pelaksana swakelola dapat dimunculkan dalam dokumen anggaran.

Hal ini mencegah kebingungan tentang instansi mana yang dapat diajak kerjasama saat anggaran telah tersedia? Semua sudah harus direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya.

Demikian juga dengan pelaksana swakelola yang berasal dari kelompok masyarakat. Target kelompok masyarakat pelaksana swakelola sudah harus dipersiapkan sebelumnya dan harus dipastikan bahwa kolompok masyarakat tersebut mampu melaksanakan pekerjaan. Jangan sampai kelompok nelayan yang tidak memiliki pengetahuan mengenai konstruksi, diminta untuk membangun dermaga ber-tiang pancang.

Intinya adalah, seluruh target pelaksana sudah harus dituangkan dalam perencanaan, bukan “tiba masa tiba akal.”

Bagaimana cara memilih pelaksana pengadaan?

Tahapan awal yang harus dilaksanakan untuk memilih pelaksana pengadaan adalah dengan memetakan antara identifikasi kebutuhan dengan kemampuan K/L/D/I dalam melaksanakan pengadaan tersebut.

Misalnya, dalam identifikasi kebutuhan ditemukan kegiatan untuk pelaksanaan pengadaan komputer, maka yang pertama dipetakan adalah, apakah pengadaan tersebut memenuhi kriteria Pasal 26 Ayat 2 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya yang sudah dijelaskan diatas? Apabila iya, maka dilaksanakan dengan cara swakelola. Apabila tidak , maka dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa. Apabila dilaksanakan dengan cara swakelola, maka harus dipetakan lagi siapa yang akan melaksanakan, apakah K/L/D/I penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain, atau kelompok masyarakat.

Tahapan berikutnya adalah memetakan komponen kegiatan dan biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan pengadaan sesuai dengan pelaksana pengadaan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam penyusunan anggaran, apabila pelaksanaan pengadaan dilakukan secara swakelola, maka mata anggaran serta jenis kegiatan dapat diuraikan secara rinci. Sedangkan apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa, maka mata anggaran dapat digabungkan menjadi satu. Perincian dapat dilakukan apabila memang jenis barangnya membutuhkan perincian berdasarkan aturan keuangan.

Akhir kata, jangan memilih swakelola atau penyedia setelah dokumen anggaran ditetapkan, tetapi pilihlah pada saat perencanaan pengadaan. Semoga bermanfaat.(*).

Sumber : Khalid Mustafa’s Weblog.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here