Opini ( Duta Lampung Online)- Berbagai cara Kekuasaan akan membatasi Kebebasan Pers , ada yang secara langsung yaitu dengan Cara Represif , ada yang secara tidak langsung tetapi Defensif , Hal itu Pernah dialami di Negara Adi daya sekalipun
Persoalan Kebebasan pers di Amerika Serikat ternyata ada juga batasnya. Mahkmaah Agung AS, akhir pekan ketiga November 1990 lalu menetapkan, CNN (‘Cable News Network’) tak berhak menyiarkan rekaman sadapan percakapan telepon bekas presiden Panama, Jenderal Manuel Antonio Noriega.
Penetapan itu dibacakan oleh Hakim Agung Thurgood Marshall yang didampingi oleh Hakim Agung Sandra Day O’Connor. Berbagai pihak menilai penetapan Mahkamah Agung AS tersebut sebagai langkah mundur dalam bidang kebebasan pers di AS. Demikian laporan wartawan Suara Pembaruan, Albert Kuhon dari Washington DC.
Pemimpin umum CNN, Tom Johnson, mengatakan penetapan Mahkamah Agung AS itu merupakan kekalahan pers AS dalam melawan sensor. Sedang Jane Kirtley, direktur eksekutif komisi kebebasan pers AS, menilai penetapan itu tidak layak dan bisa berdampak buruk terhadap persengketaan hukum di pengadilan antara Noriega yang diwakili oleh penasihat hukum Jon May dan rekan, dengan CNN yang diwakili oleh Floyd Abrams.
Tujuh dari sembilan anggota Mahkamah Agung AS dalam sidang Minggu (18/11/90) petang menyatakan menolak mengizinkan CNN menyiarkan kaset rekaman percakapan Noriega melalui telepon dari rumah tahanan negara. Penetapan Mahkamah Agung tersebut, menguatkan penetapan Pengadilan Distrik Miami yang dibuat oleh Hakim William M Hoeveler beberapa waktu sebelumnya.
Hoeveler sebenarnya (waktu itu) tengah menghakimi pertikaian perdata antara pihak CNN dengan Noriega. Di sela-sela proses persidangan, CNN minta agar pengadilan menetapkan putusan sela mengenai izin penyiaran rekaman tersebut. Pihak pengadilan sepakat dengan pihak Noriega, menolak memberi izin kepada CNN.
Alasannya, penyiaran rekaman itu (waktu itu) akan mengganggu hak Noriega dalam mendapatkan keadilan yang obyektif dalam persidangan di pengadilan. CNN kemudian mengajukan kasasi atas penetapan Hoeveler, namun akhirnya putusan Hoeveler dikuatkan Mahkamah Agung.
Memperkaya Diri
Bekas presiden Panama, Jenderal Manuel Antonia Noriega, (waktu itu) sedang berada dalam tahanan di Miami, Amerika Serikat. Noriega yang terguling dari kedudukannya tahun 1989 lalu, diesktradisikan ke AS sehubungan keterlibatannya dalam perdagangan dan penyelewengan obat bius di AS.
Noriega didakwa memperkaya diri sendiri dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya. Dari perlindungan yang diberikannya kepada para pedagang obat bius Kolombia yang disalurkan melalui Panama, Noriega disebut-sebut menerima sekitar 4,6 juta dolar AS ( – waktu itu – sekitar Rp 9 milyar). Kasus Noriega sendiri sampai saat itu masih belum disidangkan.
Awal November 1990 lalu, tim penasihat hukum yang mendampingi Noriega menggugat CNN. Dalihnya, CNN dinilai melakukan tindakan yang merugikan, atau setidaknya bisa merugikan kepentingan Noriega sebagai terdakwa.
CNN pernah menyiarkan pihaknya memiliki rekaman hasil penyadapan pembicaraan Noriega dengan beberapa pihak di luar tahanan. Termasuk pembicaraan dengan tim penasihat hukumnya. Sebelumnya, memang CNN pernah mengumumkan akan menyiarkan secara lengkap laporan penyelidikan salah satu reporternya yang antara lain berupa kaset rekaman rahasia percakapan Noriega.
CNN sempat juga mengudarakan beberapa kaset rekaman pembicaraan Noreiga yang tidak terlalu bersifat pribadi dan juga tak berkaitan dengan masalah kasusnya.
Bahkan setelah pihak penasihat hukum Noriega mengajukan gugatannya 8 November 1990 lalu, CNN masih juga sempat menyiarkan rekaman percakapan antara Noriega dengan penerjemah di kantor penasihat hukumnya. Dalam percakapan itu, Noriega menanyakan informasi mengenai dua orang saksi yang memberatkan dirinya.
Disita FBI
Langkah CNN diprotes oleh pihak pengadilan maupun penasihat hukum yang mendampingi Noriega. Bahkan kejaksaan juga menghendaki CNN menyiarkan rekaman itu setelah sidang selesai. CNN dianggap melakukan tindakan yang bisa mempengaruhi jalannya persidangan. Pengadilan tingkat distrik menetapkan CNN tak boleh menyiarkan rekaman itu sampai kasus Noriega rampung diperiksa.
Pihak FBI (biro penyidik federal AS) di Atlanta, Kamis (15/11/90), menyita perangkat kerja milik reporter CNN yang bernama Marlene Fernandez. Tindakan itu dilanjutkan dengan serentetan langkah penyidikan terhadap redaksi CNN di Washington DC. Langkah FBI itu diprotes keras oleh Tom Johnson, pemimpin umum CNN.
Pihak CNN merasa tak puas. Pengadilan maupun kejaksaan (pemerintah) dinilai mulai merusak kebebasan pers yang selama itu diagung-agungkan di Amerika Serikat. Sementara itu, pihak Noriega melalui penasihat hukumnya mengancam akan mengajukan gugatan jika CNN melanjutkan menyiarkan rekaman percakapan kliennya. CNN dianggap menginjak-injak hak Noriega sebagai tahnaan yang beroleh perlindungan hukum.
Pihak CNN tak mau menyerah. Perusahaan media massa elektronik itu meminta agar Mahkamah Agung (MA) menerbitkan ketetapan mengenai boleh atau tidaknya penyiaran rekaman rahasia tersebut. Sementara kasusnya sedang diteliti oleh Mahkamah Agung AS, pihak FBI melakukan penyidikan mengenai sumber kebocoran rekaman rahasia tersebut. Tindakan FBI, sebenarnya merupakan ekor daripada pertikaian antara pihak CNN dengan Noriega.
Penetapan Mahkamah Agung AS tersebut, memang merupakan langkah mundur bagi kebebasan pers Amerika. Sejak sekitar 20 tahun sebelumnya (1970-red), pers Amerika menikmati kebebasan yang nyaris tak ada batasnya. Pemerintah pun tak bisa membatasi kebebasan pers. Ketika itu, dua harian terkemuka AS, yakni ‘The Washington Post’ dan ‘The New York Times’ memenangkan gugatan di pengadilan.
Pada tahun 1971, redaksi kedua harian itu beroleh bahan laporan rahasia mengenai perang AS-Vietnam. Pihak Departemen Pertahanan dan Keamanan AS (Pentagon) meminta agar kedua surat kabar itu tak mempublikasikan laporan itu. Alasannya, menyangkut rahasia militer. Namun, kedua surat kabar itu bersikeras mempublikasikannya.
Dikutip dari Suara Pembaruan, 20 November 1990, dengan sedikit perubahan.
(SHDt)(*)