DARI NAMANYA, Lawang Kori, saya memahami benda itu tidak berasal dari tradisi masyarakat Lampung. Kata “lawang” berasal dari bahasa Jawa yang artinya “jendela/pintu”. Di Pulau Jawa, kata “lawang” identik dengan sebuah objek wisata di Jawa Tengah, yakni “Lawang Sewu” (Seribu Jendela). Sekali waktu saya pernah ke Lawang Sewu, sebuah bangunan yang menaikkan bulu kuduk.
Bukan hal yang aneh jika saya bertanya-tanya kenapa Lawang Kori malah menjadi benda adat bagi masyarakat Lampung yang ada di Kabupaten Lampung Timur. Disebut “benda adat” atau benda yang menjadi bagian terpenting dari sebuah prosesi adat-istiadat, karena benda itu selalu hadir bila prosesi adat itu digelar. Apakah masyarakat Lampung dengan masyarakat Jawa itu punya kekerabatan yang erat, sehingga kata “lawang” begitu akrab dalam perbendaharaan adat Lampung.
Hari itu saya sedang menelusuri jejak masyarakat adat Lampung, dan memulai perjalanan saya dari Keratuan Pugung. Sebuah hasil penelitian antropologi yang dilakukan Hilman Hadikusuma (1989) menyebutkan, ketika Banten Ketika Banten memasuki Lampung pada tahun 1530, daerah ini terbagi dalam wilayah keratuan (persekutuan hukum adat) yang terdiri dari: Keratuan di Puncak menguasai wilayah Abung dan Tulangbawang; Keratuan Pemanggilan menguasai wilayah Krui, Ranau, dan Komering; Keratuan di Pugung menguasai wilayah Pugung dan Pubian; dan Keratuan di Balaw menguasai wilayah sekitar Teluk Betung.
Hilman Hadikusuma adalah orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai filsafat budaya Lampung kepada dunia. Dia juga yang menyimpulkan, bahwa: masyarakat Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan menuakan, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi kepada punyimbang (dari kata “pun” dan “simbang”) asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau punyimbang paksi.
Dari simpul Hilman Hadikusuma, yang hingga kini tak terbantahkan, saya membayangkan Lawang Kori. Benda itu disakralkan. Ia menjadi lebih penting dari pakaian adat; menjadi lebih penting dari ornament pada kabudaya Lampungin tapis yang dikenakan sepasang penganten, misalnya.
Lawang Kori bisa ditemukan di Gedongwani. Benda itu sebuah bingkai jendela. Berbahan kayu, sudah tua pula. Pada beberapa bagian telah keropos, dimakan rayap dan waktu.
“Lawang Kori merupakan hadiah yang diberikan oleh Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunung Jati—orang juga menyebutnya sebagai Fathilla atau Falathehan,” kata orang-orang di Gedungwani.
Semua orang sanggup menceritakan kisah tentang Lawang Kuri. Semua cerita bermuara pada sosok Radin Ratudinata. Kata “radin” atau “khadin” perlu diberi catatan tebal.
Radin adalah adok atau gelar yang berada pada tataran bawah dalam pola pemerintahan patrimornial pada sistem pemerintahan adat marga di Lampung yang stratifikatif. Pemerintahan adat marga mengenal pola kepemimpinan secara kolektif terdiri dari para anggota keluarga tertua dari masing-masing keturunan yang disebut punyimbang.
Stratifikasi sosial masyarakat Lampung ditentukan garis keturunan ayah (patrilinear). Kasta paling atas disebut Suntan, dimiliki oleh anak pertama laki-laki dalam keluarga masyarakat marga. Raja dimiliki anak kedua, Batin untuk anak ketiga, Radin anak keempat, Minak anak kelima, Kemas anak keenam, Mas anak ketujuh, dan seterusnya.
Anak dalam hal ini adalah keturunan. Pembagian kasta ini sudah berlaku dalam kehidupan sosial budaya manusia Lampung sejak lama, dan tak pernah terdengar ada upaya untuk mengkritisinya berangkat dari nilai-nilai universal manusia modern yang memiliki hak asasi sama dalam segala hal.
Suntan dalam masyarakat marga di Lampung memiliki kedudukan sama persis seperti seorang raja dalam sistem monarki. Segala dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat memosisikan seorang Suntan dalam kedudukan paling tinggi, dan setiap ucapannya merupakan titah bagi kasta-kasta lain di bawahnya.
Seorang Suntan dipanggil “Pun” untuk membedakannya dengan masyarakat dari kasta lain. Seorang “Pun”, sekalipun orang tersebut tidak sedang berada di dalam wilayah Lampung, pengaruhnya tetap kuat bagi masyarakat Lampung. Kedudukannya adalah sisi paling feodalisme dari masyarakat penganut kebudayaan Lampung, karena seorang Pun bukan sekedar seorang pemuka masyarakat (opinion leader) tetapi sebagai The King sekalipun tidak pernah dikenal ada kerajaan di masa lalu yang berkuasa di wilayah Provinsi Lampung.
Suntan adalah punyimbang tertua, merupakan pemegang status sosial tertinggi di antara masyarakat kelompoknya. Mereka biasa digolongkan sebagai bangsawan tinggi. Punyimbang dari keturunan kedua bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Sedangkan punyimbang ketiga dari keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur pertanian dan perniagaan.
Seorang “radin” adalah punyimbang ketiga, digolongkan sebagai bangsawan menengah. Apa yang dilakukan seorang radin, mestinya tidak tercatat. Sebab, semua kelakuannya, dilakukan demi Suntan. Seorang Kadhin wajib bekerja untuk Suntan.
Dengan begitu, cerita tentang Lawang Kori seharusnya tidak mencatat tentang Kadhin Ratudinata. Kisah Lawang Kori mestinya mencatat nama Suntan dari Kadhin Ratudinata. Lantas, apakah kepergian Kadhin Ratudinata tidak diketahui Suntan? Atau, apakah Kadhin Ratudinata pergi ke Banten lantaran ingin memiliki citra lebih dibandingkan citra yang dimiliki Suntan-nya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menganggu saya. Pasalnya, Kadhin Ratudinata berangkat ke Banten dalam rangka siba. Siba itu pengakuan atas kekuaasaan Banten di Lampung. Kadhin Ratudinata berasal dari Kampung Kuripan—sekarang di Kecamatan Padangratu atau Selagai Linggai. Tapi, saat bertemu Sultan Banten, diceritakan kalau Kadhin Ratudinata mengaku sebagai “anak Lampung”. Padahal, Sultan Banten sendiri hanya mengenal Lampung karena ia punya istri yang berasal dari Keratuan Pugung. Istri Sultan Banten adalah putri Minak Raja Jalan Batu, kepala Keratuan Pugung di Melinting, yang bernama Putri Sinar Alam.
Sepulang dari Banten, karena mengaku sebagai anak dari Putri Sinar Kaca asal Keratuan Pugung, Khadin Ratudinata akhirnya tersesat ke wilayah Keratuan Pugung. Ia membangun perkampungan di sekitar wilayah Keratuan Pugung, yang kemudian diberi nama Gedungwani.
Khadin Ratudinata, bangsawan menengah orang Lampung di Selagai Lingga, menjadi leluhur di Gedungwani dan menyebar ke seluruh wilayah Kabupaten Lampung Timur hingga kini. Mereka hidup di antara masyarakat Lampung yang sudah lebih dahulu memiliki wilayah, yakni Keratuan Pugung. *