Hartini Pertanyakan Netralitas Korpri

0
53

Jawa Tengah, (Duta Lampung Online) – Sejak berdirinya organisasi KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) sekitar Juli 1971 ditengarai adanya kegalauan Pejabat Presiden Soehato menghadapi situasi politik pasca Pemilihan Umum Juli 1971.

Pemerintahan membutuhkan dukungan birokrasi untuk penyelenggaraan pemerintahan. Waktu itu, kondisi pegawai pemerintahan tampaknya masih belum sepenuhnya mendukung pemerintahan. Pilihannya kemudian dibentuklah Korps Pegawai Republik Indonesia atau disingkat KORPRI melalui Keputusan Presiden No 82 Tahun 1971.

Secara normatif alasan pembentukan disebutkan sebagai wadah menghimpun pegawai dalam rangka membina dan menjamin adanya pegawai yang berkemampuan tinggi, bersih dan berwibawa.

Dari sisi politik, KORPRI saat itu dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan pemerintah menjaga stabilitas politik, menjadi bagian dari kekuatan politik mendukung partai pendukung pemerintah menguasai keterwakilan partai di DPR RI.

Sebagai organisasi yang memiliki anggota lebih dari 4 juta pegawai negeri, KORPRI sangat diperhitungkan dalam mendulang suara saat pemilihan umum, sehingga sangat nyata potensi kekuatannya untuk mendukung pemerintahan.

Perubahan terjadi ketika tahun 1999, KORPRI melepaskan diri dari keterikatan dan dalam Musyawarah Nasional ke V tahun 1999 di Jakarta merekomendasikan kenetralitasan KORPRI sebagai organisasi.

Netralitas yang didengungkan KORPRI selanjutnya diikuti dengan perubahan undang-undang organisasi kepegawaian pemerintah, terbit tahun 1999. Nurmadjito,SH,MH
Undang-undang itu menetapkan Pegawai Negeri harus bersikap netral dan tidak diskriminatif. Kini organisasi KORPRI masih menempel di lembaga kementerian pemerintah dan pemerintah daerah dan setiap unit berdiri organisasi tingkat unit dan umumnya dipimpin oleh pejabat tinggi di instansi pemerintah.

Sebagai organisasi, keabsahan hukum KORPRI dilandasi dengan Keputusan Presiden dan setiap diadakan perubahan anggaran dasar tetap disahkan Presiden. Pengesahan berlangsung sampai dengan Tahun 2009, sedangkan Tahun 2015, Presiden tidak lagi memberikan keabsahan karena saat itu telah berlaku 2 (dua) undang-undang, yaitu Undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara dan Undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan.

UU Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tidak mengenal sebutan KORPRI dan organisasi pegawainya disebut dengan Korps Aparatur Sipil Negara. Begitu pula Undang-undang Kepegawaian tahun 1974 juga tidak mengatur soal organisasi pegawai Republik Indonesia. Oleh karena itu, sejak awalnya keabsahan hukumnya dilakukan melalui Keputusan Presiden.

Kini yang perlu dipertanyakan adalah dasar hukum apa yang dapat menjadikan keabsahan KORPRI berorganisasi dalam kehidupan masyarakat. Pilihannya adalah undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), sepanjang organisasi ini tetap bermaksud mempertahankan jati dirinya sebagai organisasi yang disebut KORPRI. Namun bilamana hal itu tidak dikehendaki pilihannya adalah organisasi Korps Aparatur Sipil Negara. (Hartini SHT)