Hartini : Kasus Kekerasan Sexual Dibawah Umur dan Penyekapan Tidak Bisa Dengan Jalur Damai

0
39

Pati ( Duta Lampung Online) Hartini dari KUBH Arum Taylot menyampaikan Kepada APH ,Tidak Hanya Trauma Healing Satu satunya Alternatif Kekerasan Anak, namun
Langkah progresif Hukum juga musti berjalan ,yang dimaksud Hartini dari Arum Taylor ini Mendesak Kepada Kepolisian Polresta ,terutama Kapolresta yang baru Untuk Membongkar Sindikat Pelaku Penculik anak dibawah Umur yang disayangkan Penanganannya ,sebab lambatnya Penanganan , karena disinyalir Polres Pati Lelet , tidak pernah punya Ketegasan Sikap Kepada Pelaku , karena Pelakunya Oknum Polisi teman Sejawat . Satu Perkara yang Paling Tragis di antaranya, penyidik memberikan maaf saja dan hanya menumpuk Laporan Korban hingga 12 Tahun ini , tidak memberi informasi objektif SP2HP dan transparansi kepada korban terkait hak-hak mereka, termasuk mengajukan “hak restitusi ” alias “ganti kerugian” bagi korban.

Salah satunya terjadi di Pati Bahkan Korban an H HA (10 TH) anak saudara DH ini , yang diculik Oknum anggota Polisi sebagaimana Viral di medsos , Berdasarkan keterangan Banyak Saksi satu diantaranya, keterangan Shodiq Blingi tahu Benar Jika Korban disekap, disiksa ditahan Oleh Pelaku di sebuah bedeng ,di Kamar kecil yang sangat pengap dan Lembab dekat Kamar mandi yang sempit , dan becek , Bocor jika Hujan di tahun 2011 Silam .

Namun sayangnya Polres Pati tidak cepat tanggap , malah mengabaikan Laporan korban dan justru meneror , menakut nakuti Pelapor.

Hartini mencontohkan betapa gila putusan pengadilan di Jawa Tengah pertama kali yang di dalamnya ada hak restitusi kepada korban Kekerasan pada anak dibawah Umur.

Setelah Kasus Pati yang ditangani langsung Oleh KPAI, Kemudian hal serupa disusul di Wonosobo pada tahun 2021, sebagai putusan pengadilan kedua yang tercantum hak restitusi di dalamnya.

Teranyar, langkah progresif yang dilakukan Polda Jawa Tengah di bawah nakhoda Irjen Pol Ahmad Luthfi adalah kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan bawah umur di Pati pada akhir Desember 2011 Silam dengan TKP di Gabus . Dimana Kasus itu Mandeg dan tak diberi ruang Komunikasi untuk dimediasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Arum Taylor sebagai Kuasa Insiden di sana, namun kemudian Kapolda Jawa Tengah memerintahkan agar Pelaku untuk diproses hukum, Apalagi ini Pelakunya oknum anggota Polisi Aktif.

Akhirnya, para pelakunya ditangkap dan diproses hukum lebih lanjut. Penyidikan juga tetap memperhatikan hak-hak korban, memihak kepadanya pada konteks perlindungan, termasuk pula di antara pelakunya yang masih bawah umur juga diperlakukan sesuai mandat undang-undang.

LKBH Arum Taylor ungkap Hartini , untuk dapat kerjasama dan Komunikasi dengan Polda Jawa Tengah dan Polres Pati sudah berlangsung sejak tahun 2011 lalu, secara intens. Pihak Polda Jawa Tengah melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Selain itu, turut di dalamnya terlibat di antaranya pihak Rumah Sakit Bhayangkara Semarang hingga Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak setempat.

Trauma healing yang dilakukan tim Polda Jawa Tengah kami juga sangat mengapresiasi. Ini amat diperlukan, sebab korban (perempuan dan anak, khususnya kekerasan seksual) rentan menjadi pelaku di kemudian hari jika tidak ditangani dengan baik.

Anak bawah Umur Sangat Rentan menjadi pelaku bisa jadi karena ketidaktahuannya tentang apa yang dialaminya. Ini dibutuhkan pendampingan dan tim trauma healing. Karena selain korban membutuhkan dampingan bantuan hukum, korban juga membutuhkan layanan untuk pemulihan psikologis,” lanjut Rara.

Terkait data, Hartini menyebut pihaknya mencatat di tahun 2022 jadi tahun tertinggi terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Semakin tingginya angka itu, sebut Hartini, bisa karena beberapa faktor. Di antaranya; korban yang sudah berani bercerita kemudian melaporkan ke aparat penegak hukum hingga peran masyarakat luas tak terkecuali keluarga yang semakin perhatian terhadap kasus-kasus seperti itu. Dalam kurun waktu itu, LBH Arum Taylor yang di Prakarsai Hartini Wiro ini mencatat ada 82 kasus yang terjadi di Jawa Tengah.

Pihaknya, sebut Hartini, juga tidak setuju jika ada kasus seperti itu, antara pelaku dengan korban dirukunkan atau didamaikan, bahkan sampai dinikahkan. Jika itu terjadi, dianggap sebuah kemunduran pada konteks perlindungan hukum terhadap korban.

Menurut ketentuan UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada mandat yang menyatakan bahwa negara turut hadir dalam memberikan perlindungan kepada korban.

“Itu sudah difasilitasi (penyidik dan tim trauma healing) Polda Jawa Tengah, selama kami bekerja sama, dan memberi ruang ” lanjutnya.

Hartini berharap ada langkah-langkah progresif Polresta dan Polda Jateng seperti ini bisa dilakukan semua penyidik yang menangani kasus seperti itu di polres-polres jajaran di Jawa Tengah.

“Kapolda Jawa Tengah bisa mengeluarkan semacam surat edaran ke semua polres di wilayah hukumnya, karena memang sesuai mandat UU TPKS kasus seperti itu tidak bisa didamaikan. Menjadi penting sekali untuk langkah bersama bersinergi, termasuk dengan masyarakat. Kalau seperti kami KuB Arum Taylor kan menjadi satu irisan, mendukung dengan visi misi yang sama,” tandasnya.

(YL/SHDt)