Lampungtimur (Duta Lampung Online)-Udara bulan September di wilayah Kabupaten Lampung Timur begitu panas dan pengab. Dalam catatan Badan Metereologi dan Geofisika (BMG), pada September ini ditemukan sejumlah titik api muncul di sekitar kawasan TNWK. Sudah lama hujan tak mengunjungi tanah, membuat tanam-tanaman mulai kehilangan kesegarannya.
Kami berjalan melewati semak-belukar mencari lokasi yang lebih berair. Saat udara pengap, kerbau (Bubalus bubalis) biasanya berada di lokasi yang penuh air untuk berkubang. Kerbau-kerbau itu akan bertahan di lokasi itu.
Begitu diucapkan Supardi, yang sudah 40 tahun memelihara kerbau dengan cara melepasliarkan hewan peliharaannya di kawasan TNWK. Dia berjalan di depan rombongan, piawai memilih jalur lintasan, kentara sudah terbiasa masuk kawasan. “Saya tahu dimana kerbau-kerbau itu berkumpul saat hari panas dan pengap seperti sekarang,” katanya.
Memelihara kerbau dengan cara melepasliarkan di kawasan TNWK itu sudah dilakukan warga sejak lama. Warga di Kecamatan Way Bungur dan Kecamatan Purbolinggo, misalnya, menganggapnya sebagai tradisi. Setiap pemilik memberi tanda pada kerbaunya, berupa kalung yang punya ciri khas. Yang diberi kalung biasanya kerbau betina.
Supardi mengatakan, saat dia masih anak-anak, ayahnya sering mengajak asuk ke kawasan TNWK untuk mengecek kondisi kerbau-kerbau milik mereka. “Tidak setiap hari kami mengecek. Biasanya sekali enam bulan untuk memastikan apakah kerbau itu sudah hamil atau belum,” katanya.
Untuk memanggil kerbau yang berada di dalam kawasan TNWK, setiap pemilik punya cara yang khas. Mereka mengenali kerbau-kerbaunya dari tanda yang dikalungkan. Ketika kerbau itu dipanggil, biasanya anak-anak kerbau akan mengikuti induknya. “Kalau kerbau yang datang itu tidak sendirian, itu berarti sudah beranak. Kita tinggal memberi tanda pada anaknya dan kembali melepasliarkannya di hutan,” katanya.
Kerbau termasuk hewan yang sulit berkembang-biak. Kerbau melahirkan sekali dalam dua tahun. Hanya satu ekor kerbau yang dilahirkan. Sebab itu, warga memelihara kerbau dengan cara melepasliarkannya di kawasan TNWK. Mereka sengaja melakukannya untuk mengurangi biaya perawatan, karena kerbau bisa mencari makan sendiri di dalam kawasan.
“Kerbau-kerbau itu seperti tabungan bagi kami. Kalau kami butuh uang mendadak, tinggal pergi ke kawasan TNWK dan menangkap kerbau kami. Harga seekor kerbau sekarang berkisar Rp5 juta sampai Rp10 juta, yang beratnya dapat mencapai 300-500 kg/ekor,” katanya, seperti dilansir dari Gajahlamtim.com, pada Rabu (12/3/2016).
Sapardi mengatakan, daging kerbau kurang diminati. Kerbau-kerbau itu biasanya dijual kepada petani lain yang akan memanfaatkannya untuk membajak di sawah atau keperluan lain. Sering juga, kerbau-kerbau itu dijual kepada orang lain yang meniatkan menabung seperti yang dilakukan warga.
“Banyak juga orang dari daerah lain seperti Bandarlampung yang punya kerbau di kawasan TNWK. Kalau suatu saat mereka butuh uang, tinggal menjual kerbau-kerbaunya.”
Hari itu nasib kami sedang tidak bagus. Beberapa titik yang diperkirakan tempat berkumpulnya kerbau, ternyata tidak kami temui. Mungkin karena cuaca panas dan pengab, kerbau-kerbau banyak berlindungi di dalam hutan.
Kerbau sebagai hama
Kerbau-kerbau di kawasan TNWK bisa jadi sumber perekonomian bagi masyarakat di di desa-desa penyangga, yakni alternatif sumber daging, pengganti daging sapi. Belakangan ini, pemerintah pusat gencar mengekpor daging kerbau dari India.
Tapi, ribuan kerbau milik warga yang tinggal di desa-desa penyangga TNWK, justru dikeluhkan pengelola TNWK dan dianggap sebagai musuh. Ratusan kerbau yang berkeliaran di hutan TNWK akan dikeluarkan sebelum berkembang biak di dalam hutan.
“Kerbau merupakan faktor penyebar penyakit, yang bisa membuat gajah-gajah terjangkit penyakit, yang disebabkan virus dari kotoran kerbau. Kami dan WCS akan segera memberikan surat kepada kepala Desa Brajaharjosari,” kata kata Kepala Balai TNWK Lampung Timur, Subakir.
Simpul yang dibuat pengelola TNWK ini berawal dari penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) pada 2006 untuk mengetahui distribusi dan populasi parasit disekitar TNWK. Dalam penelitian itu, diambil sampel berupa darah, feses, ektoparasit baik yang ada pada satwa maupun yang di habitat. Satwa yang diambil sampelnya adalah 4 ekor badak, 62 ekor gajah, dan 200 sapi/kerbau/kambing dari lima desa yang berbatasan dengan TNWK.
Hasil penelitian ini menyebutkan, ada parasit yang tumbuh di kawasan TNWK dan dapat mengganggu populasi gajah. Kerbau-kerbau yang dilepasliarkan warga di sekitar kawasan TNWK menjadi kambing hitam. Sebab itu, pengelola TNWK mengharapkan agar warga tidak lagi melepasliarkan kerbaunya di TNWK.
Kerbau-kerbau itu sebetulnya bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat yang ada di desa-desa penyangga TNWK. Jika dikelola dengan baik, kerbau-kerbau itu bisa sebagai destinasi wisata atau budidaya kerbau pedaging.
Kerbau sebagai destinasi wisata, sudah dijual oleh warga Kota Amuntai, Borneo, Kalimantan, kepada wisatawan. Kerbau rawa Amuntai merupakan hewan ternak yang banyak dipelihara masyarakat Desa Danau Panggang sebagai mata pencaharian. Daerah ini sebagian besar rawa dan menyulitkan masyarakat untuk memelihara kerbau, sehingga rawa yang dimanfaatkan masyarakat Amuntai.
Kerbau Rawa Amuntai memiliki perbedaan dengan kerbau darat, yaitu pada tanduk dan warna kulit. Kerbau Rawa memiliki tanduk yang lebih panjang dan berwarna abu-abu agak cokelat. Ini akibat seringnya kerbau tersebut berendam di air rawa yang berlumpur.
Setiap pagi, kerbau tersebut akan dilepaskan dan sore hari akan dimasukkan kembali ke kandang. Peternak kerbau hanya perlu menggembala dari atas perahu atau jukung. Wisatawan suka mengikuti proses kerbau keluar dari kandang pada pagi hari, digembalakan oleh pemeiliknya di rawa, dan kembali ke kandang pada sore hari. Wisatawan kadang ikut menggembalakan kerbau-kerbau itu.
Destinasi wisata seperti ini bisa dikembangkan di desa-desa penyangga TNWK yang memeilihara kerbau. Kerbau-kerbau yang biasanya dilepasliarkan, harus dibuatkan kandang. Para pemilik kerbau juga harus menggembalakan kerbau-kerbaunya agar tidak mengganggu habitat hewan-hewan langka yang ada di kawasan TNWK.
Selain itu, budidaya kerbau sebagai alternative daging, bisa dikembangkan. Saat ini, budidaya kerbau merupakan usaha yang menjanjikan karena pemerintah sedang gencar mencari alternative daging pengganti sapi. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat, pemerintah pusat sudah membuka impor daging kerbau dari India.
Kerbau di sekitar kawasan TNWK diperkirakan berjumlah ribuan ekor. Kerbau-kerbau milik warga di desa-desa penyangga TNWK itu, berkembang-biak di dalam kawasan. Populasinya yang tinggi dikhawatirkan akan mengganggu sumber makanan hewan-hewan langka di dalam kawasan TNWK.
Bobot lahir kerbau berkisah 30-40 kg, bobot dewasa antara 400-450 kg. Kerbau mulai berkembang biak pada umur 4-5tahun, jarak kelahiran sekali dalam dua tahun. Umur produktif kerbau10-12 tahun. Harga seekor kerbau sekarang berkisar Rp5-10 juta, beratnya dapat mencapai 300-500 kg/ekor.
Dari analisis ekonomi menunjukkan, dengan modal invenstasi 4 ekor kerbau dewasa untuk satu keluarga petani dengan masa pemeliharaan 2 tahun dan perolehan anak sebanyak 4 ekor diperoleh pendapatan sebesar Rp10 juta. Apabila diperhitungkan secara keseluruhan usaha, maka sumbangan usaha kerbau terhadap pendapatan petani per tahun mencapai 54,21%, sementara dari usaha tani padi 43,21%.
Dari percakapan dengan Supardi, umunmya kerbau yang dipelihara dijual apabila kebutuhan keuangan cukup besar dan mendesak misalnya anak sekolah (kuliah) ke luar daerah. (rls/Gl.c)