Jakarta, dutalampung.com – “Cukup sudah,” kata Wilson Lalengke, alumnus PPRA-48 Lemhannas RI, dalam pernyataan tegasnya pada Rabu, 1 Januari 2025. Lalengke yang juga Ketua Umum PPRA-48 Lemhannas RI Persatuan Jurnalis Warga Indonesia (PPWI), meminta Presiden Prabowo Subianto segera mengambil tindakan dengan memberhentikan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Metro Jaya Karyoto terkait keterlibatan sejumlah oknum polisi dalam kasus tersebut. skandal pemerasan terhadap peserta Djakarta Warehouse Project (DWP).
“Cukup sudah. Kita tidak bisa membiarkan reputasi bangsa ini semakin ternoda oleh para penjahat di kepolisian,” kata Lalengke, mengungkapkan rasa frustrasinya atas skandal yang telah menarik perhatian internasional secara luas.
“Kedua perwira tinggi ini harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan anak buahnya. Jika mereka gagal mengambil tindakan tegas, mereka harus menghadapi konsekuensinya.” ucapnya.
Kejahatan Antar Bangsa
Menurut Lalengke, kasus pungli DWP bukan sekadar persoalan tindak pidana dalam negeri, melainkan merupakan kejahatan antar bangsa. Para korban, yang merupakan warga negara asing, kemungkinan besar tidak akan memandang pelaku sebagai petugas perorangan, melainkan akan mencap mereka sebagai penjahat asal Indonesia. Ini bukan hanya aib bagi kepolisian, tapi juga aib nasional.
“Orang asing yang menjadi korban pemerasan ini tidak akan membedakan petugas yang terlibat; mereka akan melihat mereka sebagai ‘orang Indonesia’ yang telah melakukan kejahatan terhadap mereka. Ini sungguh memalukan. Perbuatan aparat tersebut telah mencoreng citra bangsa kita di kancah internasional,” lanjut Lalengke.
“Wajah Indonesia ternoda oleh perilaku asusila dan korup aparat kepolisiannya. Seolah-olah bangsa ini diliputi rasa malu,” cetusnya.
Wilson Lalengke, lulusan pascasarjana bidang Etika Global dari Universitas Birmingham, Inggris, menekankan dampak diplomatik yang serius dari kasus ini. Ia menegaskan, kejadian seperti itu tidak hanya merusak kredibilitas kepolisian Indonesia, tetapi juga merugikan hubungan internasional bangsa.
Panggilan Mendesak untuk Akuntabilitas
Pernyataan Lalengke menyoroti kebutuhan mendesak bagi Presiden Prabowo untuk mengambil tindakan segera dan tegas guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian. Dia menekankan bahwa para pemimpin polisi yang terlibat dalam skandal tersebut harus bertanggung jawab atas peran mereka dalam mengizinkan atau memfasilitasi pemerasan terhadap warga negara asing.
“Orang-orang ini telah mempermalukan seluruh bangsa. Sudah saatnya Presiden menunjukkan kepemimpinannya dan memecat Kapolri dan Kapolda Metro Jaya. Mereka harus bertanggung jawab atas perbuatan anak buahnya, dan tidak bertindak. tidak boleh dibiarkan begitu saja,” tambah Lalengke.
Namun demikian, dengan menyebut polisi yang terlibat sebagai ‘hopsel coklat’ – sebuah istilah yang merendahkan yang berarti hama – Lalengke mengungkapkan ketidakpercayaannya terhadap skala kejahatan tersebut, yang ia gambarkan sebagai hal yang ‘tidak masuk akal’. Pemerasan yang meluas, yang berdampak pada 400 korban secara bersamaan, telah menyebabkan kerugian finansial yang sangat besar sebesar Rp 32 miliar. Lalengke menyebut kejadian itu ‘besar’ dan sulit dipercaya.
“Saya sulit percaya bahwa polisi ini bertindak atas inisiatif mereka sendiri,” ucapnya lagi.
“Kemungkinan besar mereka diberi perintah oleh komandannya, termasuk Kapolri melalui Kapolda. Jika petinggi kepolisian terlibat dalam skandal ini, kita patut bertanya: siapa yang menyuruh mereka melakukan tindakan keterlaluan itu? Sangat tidak masuk akal jika kita berpikir bahwa polisi tidak mempertimbangkan konsekuensinya. Mereka pasti sadar bahwa 400 korban tidak akan tinggal diam, apalagi mereka semua adalah orang asing, yang pasti akan bersuara ketika kembali ke negara asalnya.” ujarnya.
Lalengke menegaskan, apa pun alasan tindak pidana tersebut, reputasi Indonesia telah tercoreng parah di kancah internasional. Dia menegaskan, skandal ini menyoroti penyalahgunaan kekuasaan di kepolisian dan untuk itu Kapolri harus bertanggung jawab.
Panggilan untuk Keterlibatan Interpol
Wilson Lalengke lebih lanjut menekankan beratnya kasus pemerasan yang melibatkan warga negara asing, dan menyerukan keterlibatan Polisi Internasional (Interpol) untuk memastikan penyelidikan menyeluruh. Menurut Lalengke, kasus ini lebih dari sekadar pemerasan dalam negeri, karena kasus ini melibatkan warga negara asing yang menjadi korban pelaku dari dalam negeri.
“Ini bukan kasus pungli biasa, warga dieksploitasi oleh sesama warganya, sayangnya hal ini sering terjadi. Ini adalah kejahatan yang berdampak internasional, dan harus ditangani seperti itu. Keterlibatan Interpol sangat penting untuk memastikan kasus ini diselidiki dengan baik. Kita berhadapan dengan 400 orang WNA yang menjadi korban tindak pidana yang dilakukan pelaku dari negara lain. Mengingat keterlibatan pejabat negara dalam masalah ini, jelas terdapat konflik kepentingan, dan sangat kecil kemungkinannya pemerintah daerah dapat melakukan penyelidikan yang tidak memihak,” ungkap Lalengke.
Lalengke menekankan bahwa keseriusan kasus ini memerlukan perhatian internasional, mengingat skala kejahatan dan jumlah warga asing yang terkena dampaknya. Dia meminta Interpol untuk turun tangan dan membantu otoritas lokal untuk memastikan keadilan ditegakkan.
Selain pendiriannya yang tegas terhadap kasus pungli, tindakan Lalengke belakangan ini membuatnya mendapat pengakuan di kancah dunia. Baru-baru ini ia mendapat penghargaan dari Kedutaan Besar Rusia di Jakarta atas upayanya membela jurnalis Rusia yang menghadapi diskriminasi dari UNESCO selama konflik Ukraina-Rusia yang sedang berlangsung.
“Kasus ini tidak hanya mencoreng reputasi Indonesia di dunia internasional, namun juga menyoroti perlunya akuntabilitas dan transparansi yang lebih kuat dalam penegakan hukum. Polisi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan pelakunya harus diadili, dari mana pun asalnya,” pungkasnya. (APL/Red).