TINGGINYA tingkat kebutuhan ekonomi serta kerasnya angin kehidupan, terkadang membuat kita sebagai umat manusia goyah menentukan arah serta langkah dalam bekerja mencari sesuap nasi dan memenuhi kebutuhan hidup sehari hari.
Adalah Rio seorang pria berusia 35 tahun. Suami dari Winarni serta ayah dari 3 orang anak, buah dari perkawinan mereka. Keluarga kecil itu tinggal disebuah perkampungan petani di ujung Kampung Garden Negri Meteor. Dalam kesehariaannya, Rio bekerja sebagai seorang insan pers. Bakat dan jiwa penulis yang dimiliki oleh Rio sudah tertanam sejak ia masih usia kanak kanak. Karena ia dibesarkan dan didik oleh orang tua yang berprofesi sebagai wartawan.
Sejak belia ia mulai menekuni dunia mengarang dan merangkai kata menjadi prosa dan puisi. Sudah banyak buah pena yang dihasilkan dari goresan jari lentiknya yang termuat dibeberapa media cetak dan dibaca oleh khalayak ramai.
Diusia remaja, kala ia duduk di bangku Sekolah Menengah Umum yang ada di kota itu, ia mulai mengenal dunia jurnalistik dan broadcasting. Rio diminta oleh salah seorang Manager Radio swasta untuk bergabung dengan mereka memandu serta menjadi pengasuh rubrik pelajar di radio tersebut. Bergabungnya Rio di radio tersebut telah membuat semangat dan keinginannya untuk menekuni dunia jurnalis semakin menjadi. Sembari menimba ilmu dibangku pendidikan ia juga bekerja sebagai seorang insan pers.
Pasca menyelesaikan pendidikan di bangku SMU di pertengahan tahun 1980-an ia bekerja sebagai wartawan dan bergabung dengan sebuah surat kabar harian terkemuka di kota itu. Sejak ia bergabung dengan media, hobi dan kegemarannya dalam menulispun tersalurkan. Terlebih lagi para pemimpin yang ada di media tempatnya bekerja selalu memberikan support agar Rio lebih giat dalam bekerja serta lebih berupaya untuk meningkatkatan kualitas dalam bekerja dan membuat tulisan.
Berbagai penemuan pun telah banyak ia torehkan menjadi tulisan dan berita yang membawa dampak positif bagi kemajuan daerah dalam segala bidang. Sejak ia menekuni dunia jurnalis ia pun kerap berkunjung dan mengembara dari satu daerah kedaerah lainnya guna mencari hal-hal yang bisa diimplementasikan menjadi sebuah tulisan yang diharapkan akan dapat membawa manfaat bagi perkembangan serta pertumbuhan dan kemajuan masyarakat di daerah yang ia implementasikan.
Dalam pengembaraan jurnalis tersebut Rio Banyak mendengar serta melihat Berbagai macam kejadiaan yang terjadi di sekelilingnya yang mana hal itu terkadang membuat nalurinya sebagai penulis selalu mendidih bagai air yang sedang dijerang di atas tungku berbara api panas membara. Suatu hari, ketika Rio dan Fredy tengah beristrahat di sebuah perkampungan nelayan yang letaknya tidak jauh Dari Negri Garden, Rio dikagetkan dengan suara yang membuyarkan lamunan dan fokus pikirannya saat sedang menatap kondisi ironis serta menyedihkannya kehidupan para nelayan di daerah itu, yang mayoritas tinggal di rumah panggung di tepian pantai berdinding dan berlantai bambu belah serta beratap daun lontar.
“Rio, mengapa engkau melamun? Apa yang membuatmu merenung?,” tanya Fredy, teman seprofesi Rio.
“Aah tidak ada apa-apa? jawab Rio kaget.
Rio tak hentinya melayangkan pandangan ke arah anak-anak nelayan yang sedang asyik membantu ibunya mengolah ikan hasil tangkapan ayah mereka tertanam dalam benak hatinya betapa pedih dan terjalnya jalan kehidupan para anak nelayan. Semestinya mereka masih mengenyam manisnya dunia kehidupan seperti anak-anak lainnya yang selalu diwarnai dengan kecerian dan kegembiraan,serta mereka bisa melaksanakan belajar dan menimba ilmu di sekolah ataupun kelompok belajar.
“Dari tatapan matamu sepertinya ada hal yang sedang kau pikirkan. Apakah kau telah menemukan sebuah materi yang akan kau jadikan bahan untuk membuat tulisan dan berita?” kembali Fredy melayangkan pertanyaan ke sahabat yang sudah cukup lama ia kenal.
“Iya, memang benar” jawab Rio, “dalam benak pikiranku sedang terbayang kehidupan para nelayan yang sangat ironis dan menyedihkan. Coba kau perhatikan anak-anak nelayan yang sedang bekerja membantu orangtuanya bekerja untuk mencari sesuap nasi. Seharusnya anak seusia mereka sekolah dan belajar karena mereka adalah calon generasi penerus bangsa ini. Namun kondisi sekarang yang menimpa mereka justru berbalik arah. Mereka rela mengorbankan diri mereka untuk tidak bersekolah ,hanya demi untuk membantu orangtuanya mencukupi kebutuhan hidup sehari hari.” tambah Rio sembari memandang semu ke arah perkampungan nelayan yang ada di depan mereka.
“Lagi-lagi faktor kemiskinan dan tingginnya tingkat kebutuhan hidup yang membuatmereka jadi seperti ini” jawab Fredy.
Tak terasa seharian penuh kedua sahabat itu berada di perkampungan nelayan. Waktupun merangkak menjelang malam. Selangkah demi selangkah kedua sahabat seprofesi itu berjalan meninggalkan tepian pantai menuju sepeda motor mereka karena sang mentari secara perlahan telah memasuki peraduaannya dan malam pun datang menjelang.
Setibanya di rumah, Rio langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan bersiap untuk shalat maghrib bersama istri dan anak-anaknya yang sudah menunggu di ruang sholat. Kebiasaan melakukan shalat berjamaah memang selalu ditanamkan oleh Rio dan Winarni kepada anak-anak mereka. Jadi tak heran jika kebahagian dan cahaya islam selalu hadir dan mewarnai keluarga kecil yang tinggal di rumah mungil di tengah tengah perkampungan petani tersebut. Setelah melakukan shalat maghrib, Rio mengajak anak-anaknya untuk makan malam bersama menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh istri.
“Ada apa, Bu sepertinya ada hal yang sedang Ibu pikirkan?” Tanya Rio kepada Winarni disaat mereka duduk santai di tengah rumah sembari menonton televisi dan menikmati makanan ringan yang di buat oleh Winarni.
“Iya, Mas. Kalau boleh aku berbicara jujur memang akhir –akhir ini aku ada beban pikiran yang sepertinya tak kuat jika aku pendam dalam hati seorang diri” Kata Winarni menjawab pertanyaan sang suami tercinta.
“Sayang, sebagai suami istri sudah sepantasnya kita saling berbagi suka dan duka” Rio memberikan sugesti kepada istrinya. “Mas tadi aku mendapatkan kabar dari kampung ibu yang telpon. Beliau memberi tahu kita bahwa saat ini ayah sakit dan harus dirawat di rumah sakit” Jawab Win sembari menatap sendu ke arah sang suami. “Tiga hari yang lalu, Dio, Tio, dan Della juga memberikan input bahwa mereka beberapa waktu lagi akan melaksanakan Ujian Sekolah, pihak sekolah meminta mereka dan seluruh siswa untuk bisa segera melunasi pembayaran biaya tersebut” tambah Win.
“Bu, yang sabar ya. Kalau boleh Ayah tau penyakit apa yang diderita oleh bapak dan mengenai uang sekolah anak-anak dalam waktu dekat akan Ayah upayakan” jawab Rio sembari tangannya membelai rambut dan wajah wanita paruh baya yang masih nampak cantik.
“Kata ibu, bapak menderita penyakit kanker jantung yang menurut para medis sudah memasuki tingkatan yang sangat menghawatirkan dan harus dirawat di rumah sakit” Winarni menjawab apa yang ditanyakan oleh ayah dari anak-anaknya tersebut .
“Ya sudah besok Ayah akan ke kantor untuk mengambil gaji dan mencari tambahan untuk bayar biaya anak-anak sekolah dan membantu biaya perawatan bapak” kata Rio sembari berupaya menenangkan hati sang istri yang nampak gundah dan gusar memikirkan semua itu.
Malam telah larut, sepasang suami istri tersebut pun bangkit dari tempat mereka bercengkrama menuju kamar dan sebelum tidur, Rio menghampiri sebuah meja yang terletak di sudut kamar mereka, tampak sebuah komputer dan notebook yang selalu membantunya bekerja. Secara perlahan dibukanya file-file yang tersimpan pada benda kecil berbentuk persegi empat itu. Jari tangannya pun dengan lincah menari di atas papan keretik, merangkai satu per satu huruf menjadi kalimat yang bermanfaat untuk dibaca oleh semua kalangan.
Karena asyik dengan pekerjaannya, Rio tidak menyadari akan kehadiran Dilla, putri bungsu mereka terjaga dari tidurnya. Sang waktu telah menunjukkan pukul 02.00 dinihari.
“Ayah, malam telah larut, sebaiknya Ayah isirahat dulu,” Tutur Dilla memecah suasana keheningan malam dan membuat Rio, ayahnya sedikit terkejut.
“Ehh Dilla, tanggung Nak. Besok tulisan ini harus dibaca oleh para pembaca.” Jawab Sang Ayah yang kesehariannya bekerja sebagai wartawan surat kabar harian sore terkemuka di Negri Garden.
“Tapi nanti Ayah sakit, karena setiap malam selalu begadang dan kurang memperhatikan kesehatan badan. Ayah selalu berpacu dengan waktu untuk menulis” kata Dilla kepada ayahnya. Memang Rio harus berbangga hati karena ia dianugrahi oleh Allah SWT. pendamping hidup dan anak-anak yang peduli dengan dirinya.
“Terimakasih ya, Nak. Insyaallah ayah tidak akan melupakan nasihat Dilla” Jawabnya kepada Si Buah Hati pelipur lara. Menjelang subuh ia pun berhasil menyelesaikan tugasnya. Setelah shalat subuh ia pun berbaring sejenak sembari menunggu datangnya pagi.
Seusai sarapan pagi Rio berangkat menuju kantor redaksi media tempat ia bekerja. Setibanya di kantor ia pun langsung menuju ke ruangan kerja khusus yang diperuntukkan bagi dirinya. Diruangan ia dikagetkan dengan teguran dan sapaan Fredy yang telah lebih dahulu tiba di kantor
“Hai, baru ngantor ya, tumben kesiangan” Seloroh Fredy sembari tersenyum.
“Iya hampir setiap malam aku tidur menjelang pagi. Biasalah, kuli pena kan harus rajin menulis” Timpal Rio kepada sahabatnya dengan gaya agak cuek.
“Bos, suda datang Fred?” Rio balik bertanya kepada Fredy soulmate kerjanya di lapangan.
“Sudah, sekarang lagi memimpin meeting di ruangan kerjanya. Tadi beliau sempat menanyakan You” Jawab Fredy.
“Sudah gajian belum?” Kembali Rio bertanya kepada patner setianya.
“Sudah, tapi tidak bisa diganggu gugat, karena itu hak orang rumah dan anak-anak” Jawab Fredy singkat.
Tak lama kemudian dari dalam ruangan pimpinan, muncul Dina sekretaris redaksi. Ia pun segera menuju keruangan kerja para peliput alias wartawan.
“Pak Rio dipanggil oleh bapak” Kata Dina kepada Rio.
“Iya, sampaikan kepada Pak Agus kalau saya segera menghadap ke ruangan beliau” Jawab Rio.
Setibanya di ruangan tersebut betapa terkejutnya Rio, karena semua para petinggi surat kabar tempat ia bekerja hadir berkumpul di ruangan itu.
“Silahkan masuk dan duduk, Pak Rio” Kata pimpinan surat kabar tempat Rio bekerja.
“Terimakasih, Pak” kata Rio sembari melangkah menuju kursi yang kosong di sebelah kiri pak Herman. Seluruh mata yang hadir di ruangan tersebut menatap ke arah Rio, ia menjadi bingung, kikuk serta riskan dibuatnya.
“Apakah Bapak memanggil saya?” Tanya Rio kepada orang yang duduk di sebelah kananya.
“Iya benar. Ada hal yang ingin saya sampaikan secara langsung kepadamu dan tolong perkenalkan, ini Pak Dion. Kemudian yang duduk di sebelah kiri beliau adalah Mas Bosco, serta yang duduk dekat denganmu adalah Ibu Nely” Kata Herman sambil memperkenalkan ketiga tamu perusahaan kepada Rio.
“Mereka bertiga adalah pimpinan serta pengurus perkumpulan media cetak dan wartawan se-Pulau Nirwana. Kedatangan mereka ke sini adalah untuk menyampaikan undangan kepada surat kabar kita. Kita diundangan untuk hadir ada puncak acara Nirwana Award yang akan digelar pada pertengahan purnama mendatang” Jelas Herman kepada Rio dan semua yang hadir di ruangan tersebut.
“Betul sekali apa yang dikatakan Pak Herman tadi. Selain itu kedatangan kami juga ingin menyampaikan kabar kepada semua yang ada di sini bahwa Surat Kabar Harian Media menjadi surat kabar yang paling banyak dibaca oleh para pembaca pemenang pertama pada Nirwana Award tahun ini. Begitu juga dengan Rubrik Fenomena Kehidupan yang diasuh oleh Bung Rio berhasil meraih posisi sebagai juara pertama Rubrik Pilihan Pembaca pada event yang sama dan berhak untuk mendapatkan hadiah berupa trofi, piagam, dan uang pembinaan sebesar Rp.125 juta. Karena itu kami diutus oleh panitia untuk menyampaikan hal tersebut sekaligus mengundang rekan-rekan semua untuk dapat hadir pada acara Nirwana Perss Award yang akan diadakan purnama mendatang” Kata Dion sembari mengangkat tangan kanannya untuk mengucapkan selamat kepada Rio dan Herman.
Tak lama kemudian usai menyampaikan kabar tersebut Dion beserta rombongan mohon pamit kepada seluruh jajaran SKH Media untuk segera kembali ke daerah mereka.
“Pak Herman dan rekan-rekan tampaknya sudah cukup lama kami berada di sini. Karena itu kami mohon pamit untuk segera kembali ke Nirwana dan kami tunggu kehadiran rekan-rekan” Pamit Dion mewakili rekan-rekannya sembari menyalami semua yang hadir.
Hari itu Rio dan Herman banyak menerima ucapan selamat dari para pembaca dan rekan-rekan mitra kerja. Ia juga tak lupa menyampaikan kabar baik tersebut kepada istri dan anak-anaknya.
Seusai melepas kepulangan Dion dkk, Herman mengajak Rio untuk berbicara secara empat mata di ruang kerjanya.
“Rio, selamat ya atas prestasi yang berhasil diraih, dan ada apa? Tampaknya kau kurang bersemangat mendapatkan anugrah ini” kata Herman kepada Rio sembari menatap Rio yang duduk dengan kepala tertunduk seperti orang yang sedang kebingunan menghadapi sebuah masalah.
“Terimakasih, Pak. Semua ini adalah berkat kerjasama diantara kita semua. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada redaktur dan tim redaksi yang selalu berupaya agar tatanan kalimat yang ada di Fenomena Kehidupan menjadi lebih mudah dibaca dan membuat para pembaca Media kita lebih tertarik untuk membacanya. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak selaku pimpinan redaksi yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengabdikan diri di Media. Tanpa kalian semua, saya tidak akan memiliki arti apapun juga” Kata Rio dengan rendah hati menjawab apa yang disampaikan pimpinan kepadanya.
“Akhir-akhir ini memang ada satu beban moral dan pikiran yang membayangi benak saya, yakni ayah mertua saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Namun sampai sekarang saya belum mendapatkan uang untuk biaya pengobatannya” Ungkap Rio.
“Apakah kau butuh bantuan dana? Berapa dana yang diperlukan?” Herman balik bertanya.
Memang selain seorang konglomerat yang kaya raya Herman juga sangat besar kepedulian kepada bawahannya, serta mempunyai sifat yang bijaksana, tidak sombong, dan tidak egois kepada semua orang yang ada disekelilingnya.
“Iya Pak. Kalau pun diperbolehkan saya dan keluarga membutuhkan dana sekitar 50 juta” Ucap Rio memberanikan diri mengungkapkan apa yang ada dalam hati nya kepada bos.
“Kalau begitu tidak usah bingung saya dan perusahaan akan membantu kesulitanmu” Kata Sang Simpinan sembari memanggil Desy, manager keuangan perusahaan tersebut.
“Hari ini tolong berikan dana bantuan kepada Rio sebesar 50 juta” perintah Herman kepada Desy. “Siap Pak “ Kata Desy sembari mengajak Rio menuju keruangannya.
Mendapatkan perhatian yang begitu besar dari pimpinannya ia pun mengucapkan terimakasih dan segera pamit mohon diri menyusul Desy keruangannya.
“Terimakasih ya Pak atas perhatian dan bantuan dari Bapak dan rekan-rekan” Kata Rio kepada Herman.
Setibanya di rumah Rio pun disambut oleh anak dan istrinya dengan ucapan selamat.
“Selamat ya Ayah atas prestasi yang dicapai Ayah” Kata Winarni beserta anak-anaknya. “Terimakasih ya istri dan anak-anakku tercinta atas dorongan dari kalian juga Ayah berhasil meraih semua kesuksesan ini, selain itu alhamdulilah Pak Herman dan perusahaan bersedia membantu kita. Perusahaan memberikan ayah pinjaman sebesart 50 juta” Kata Rio kepada anak dan istrinya.
Keesokan harinya Rio segera meminta istrinya untuk mentransferkan uang untuk biaya perobatan ayah mertuanya ke rekening bank ibu mertuanya dan melunasi semua biaya pendidikan anak-anaknya.
Tak terasa waktu pun telah tiba. Rio didampingi oleh Winarni dan Herman bersama rombongan berangkat menuju ke Negri Nirwana. Malam yang dinantikan pun tiba. Hati dan jantung Rio berdebar dan berdetak dengan sangat kencangnya tatkala ia mendengar namanya disebut dan dipanggil oleh MC untuk naik ke atas panggung menerima trofi dan berbagai hadiah lainnya. Tepuk tangan dari para hadirin mengiri langkah Rio menuju ke atas panggung. Air mata bahagia pun hadir tanpa diundang membasahi pipi Rio dan Winarni.
Pesta pun telah berlalu sejak diterimanya anugrah tersebut. Rio semakin giat untuk berkarya dan menulis hingga sampai saat ini telah banyak penghargaan yang ia terima. Dari kegigihannya berkarya dan menulis, juga support yang selalu diberikan oleh istri dan anak-anaknya agar ia selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas dan terus belajar menulis secara porposional, ia pun kini berhasil menjadi penulis ternama dan professional. Berbagai buku dan tulisannya telah banyak diterbitkan oleh media cetak dan percetakan buku untuk dijual di toko buku.
Berpijak dari hasil menulis dan menjurnal dengan profesi sebagai wartawan, Rio berhasil menghantarkan anak-anaknya menyelesaikan pendidikan sampai ke tinggkat sarjan Strata 2 dan kini ketiga putra putri buah hati mereka semuanya telah bekerja dan memegang jabatan penting di lingkup pemerintahan Negri Garden. Perasaan haru dan bahagia pun kembali dirasakan oleh Rio dan Winarni tatkala mereka berdua menghadiri acara wisuda Sarjana S2 putri bungsu mereka
“Ya Allah kepadaMu aku panjatkan puji dan syukur yang sedalam-dalamnya. Karena atas berkat rahmat dan inayyah dari Engkau, aku yang kesehariannya hanya bekerja sebagai wartawan dibantu oleh istriku tercinta berhasil menghantarkan anak-anak kami menjadi sarjana dan orang yang berguna bagi Nusa Bangsa, agama, orangtua, dan menjadi hamba yang selalu berbakti dalam menjalankan segela perintah yang Engkau berikan” Ucap Rio sembari mengangkat kedua tangannya memohon ridho dan petunjuk dari Allah yang diamini oleh istri dan anaknya.