Lampung Timur dikenal dengan sederet nama baik serta nama buruknya mengenai keberadaan kampung begal yang berhasil dicium media. Salah satu kabupaten dengan penduduk yang cukup banyak dan tersebar hingga daerah pelosoknya. Beribukotakan Sukadana dengan secercah cerita dari mantan salah satu bupatinya yang tersandung kasus ‘makan uang rakyat’.
Jalanan yang rusak serta penataan kota yang mungkin belum pada keadaan yang tepat seakan menambah beban pekerjaan bagi para pembesarnya untuk membersihkan nama Lampung Timur sekarang. Belum lagi kabar buruk mengenai para begal yang masih berkeliaran pun berdampak menurunkan wisatawan yang ingin berkunjung ke destinasi wisatanya.
Siapa sangka dengan sederet kabar buruknya, Lampung Timur menyimpan ragam budaya serta sejarahnya yang kental. Lampung Timur seakan menyimpan asetnya dalam-dalam yang justru membuat muda-mudinya perlahan melupakan, tidak banyak diberitakan juga tidak banyak kunjungan. Jauh dari Sukadana, di daerah hampir dekat dengan perbatasan Lampung Selatan, tepatnya di daerah Pugung Raharjo kita masih bisa melihat dengan nyata aset berharga itu.
Ya, sebuah komplek sejarah situs purbakala. Terakhir kukunjungi tempatnya gersang terlebih saat musim kemarau, tidak begitu terawat, sepi pengunjung, tidak ada penjaga maupun tour guide seperti pada tempat bersejarah lainnya yang bisa sekedar mengingatkan pengunjung untuk tidak melakukan vandalisme, juga tidak ada fasilitas pendukung lainnya (meskipun toilet sudah ada tapi letaknya cukup jauh, yaitu berada di pintu masuk) Kurangnya perhatian atas salah satu destinasi wisata ini sangat disayangkan.
Situ purbakala Pugung Raharjo, tentunya bagi sejarawan situs ini bukanlah nama yang asing. Tapi bagaimana dengan yang lainnya yang mungkin saja hanya baru dengar dan belum pernah sama sekali mengunjungi?
Terkadang kita hanya disibukkan dengan tawaran wisata pada wilayah-wilayah yang memang sudah menjadi pilihan utama tanpa pernah terbesit mencoba mengunjungi wisata yang tidak seperti biasanya. Lalu kita lupa, menyingkirkan, bahkan tidak mempedulikan keberadaan tempat wisata bernilai tinggi seperti ini. Padahal jika Pemda setempat lebih ‘cantik’ menawarkan aset berharganya kepada para wisatawan, bukan tidak mungkin Lampung Timur kembali dikenal dengan nama baiknya.
Untuk menuju komplek situs purbakala ini dari Bandar Lampung memerlukan waktu 2-3 jam perjalanan darat, waktu yang tidak semestinya terkuras karena dengan menempuh jalur darat dari Jalan Ir. Sutami akan banyak ditemui jalan bersumur nyaris seperti kubangan kerbau ketika musim hujan. Lalu kita bisa langsung menuju ke komplek situs purbakala ini di Pugung Raharjo.
Sayang, tidak ada penjaga parkir yang setidaknya bisa menjaga kendaraan. Tidak ada tiket masuk dan kalaupun ada, uang dari pembayaran itu bisa digunakan untuk perawatan situs itu sendiri. Sekedar pengalaman, jika ingin bepergian ke sana disarankan untuk menitipkan kendaraan di rumah warga sekitar. Mengingat kondisi daerah yang sebetulnya masih lemah keamanan. Dari rumah warga menuju pintu masuk cukup ditempuh dengan berjalan kaki saja, tidak terlalu jauh.
Di dalam komplek tersebut dapat ditemui punden berundak, benteng, menhir (belakangan diketahui salah satu menhir pernah ambruk dan kembali berdiri sendiri), meja batu, dan lokasi paling ujung terdapat sumber mata air yang tidak pernah surut meski kemarau panjang sejak awal keberadaannya di zaman purba. Menurut warga sekitar, sumber mata air tersebut banyak khasiatnya karena memang kepercayaan dari masyarakat terdahulu yang menyatakan demikian.
Lemahnya penataan pada aset ini seakan menambah kurangnya daya tarik wisatawan. Tempatnya yang gersang dan di kelilingi oleh beberapa pepohonan jati tak terawat justru meninggalkan kesan mistis tersendiri. Padahal, sekali lagi jika Pemda benar-benar tidak menyiakan asetnya, komplek situs purbakala ini pastilah banyak peminatnya. Terlebih kegunaannya untuk mengenalkan kepada peserta didik secara langsung bukti adanya zaman purbakala di Lampung khususnya.
Lalu pembangunan infrastruktur seperti jalanan yang perlu adanya perbaikan di sepanjang Jalan Ir. Sutami menuju Lampung Timur yang masih rusak parah pun perlu dilakukan demi menunjang keberhasilan dalam mengelola aset berharga tersebut. Meski baru-baru ini, Puteri Indonesia sempat mengunjungi situs purbakala Pugung Raharjo untuk melambungkan nama situs purbakala itu sendiri, nampaknya masih belum cukup menarik perhatian wisatawan. Terbukti dengan penampakan situs purbakala yang masih sangat sepi pengunjung. Padahal tiket masuk pun tidak ada, alias gratis.
Terlepas dari itu semua masyarakat pun perlu ikut campur dalam mengenalkan aset daerahnya. Karena kalau suatu hari nanti situs purbakala Pugung Raharjo lebih banyak dikenal bahkan oleh wisatawan asing, bukan tidak mungkin Lampung Timur memiliki tabungan untuk masa depannya. Pastilah segala aspek kehidupannya ikut naik derajat dan semua masyarakat ikut merasakan perubahannya.