REFORMASI BIROKRSI TNI

0
44

OPINI ( Duta Lampung Online)- Koalisi untuk Reformasi TNI Sektor Hukum dan Keamanan Semakin di butuhkan ,Kehadiran TNI ditengah tengah Medan Masyarakat , Bangsa sendiri semakin di tegaskan , sebagai Katalisator , Dinamisator bahkan Motor Penggerak Laju Kemajuan Negara.

Inspirasi ini terlahir dalam rangka menyongsong Harlah TNI ke “77 Tahun Sebuah Progres Sinergis Reformasi Birokrasi TNI”

Pada tanggal 5 Oktober 2022 Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan memasuki usianya yang ke- 77. Pada momentum Hari Ulang Tahun ke- 77 ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengucapkan selamat dan sekaligus apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh prajurit TNI atas perannya selama ini dalam menjaga pertahanan negara Indonesia. Di usianya yang tidak lagi muda ini, muncul harapan besar TNI ke depan menjadi alat pertahanan yang semakin kuat, modern, profesional, dan mampu menjalankan tugas-tugasnya secara akuntabel, menghormati tata negara demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Kami memandang momentum HUT TNI yang ke-77 tahun ini tidak boleh hanya menjadi sekadar repetisi perayaan yang sifatnya seremonial belaka. Di tengah kondisi bangsa dan negara yang sedang berada dalam suasana keperihatinan akibat krisis pandemi Covid-19, sudah seharusya HUT TNI kali ini juga dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan diri mengingat masih banyaknya permasalahan dan agenda reformasi TNI yang belum terlaksana.

Perlu diakui, agenda reformasi dan transformasi TNI sejak tahun 1998 memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif seperti seperti penghapusan peran sosial-politik TNI, pemisahan TNI dan Polri, penghapusan bisnis TNI dan lain sebagainya. Namun, semua pencapaian itu bukan berarti menandakan bahwa proses reformasi TNI telah tuntas dijalankan. Sejumlah agenda tersisa seperti reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial dan agenda lainnya masih urung dilakukan. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya dimana proses reformasi TNI mengalami stagnasi dan dalam sejumlah aspek bisa dikatakan malah mengalami kemunduran.

Berikut tujuh catatan Koalisi terkait agenda reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah yang harus didorong dan dijalankan oleh pemerintah ke depan, antara lain yaitu:

Pertama, peran internal militer yang semakin menguat. Salah satu agenda reformasi TNI pada tahun 1998 adalah membatasi ruang keterlibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri. Sebagai alat pertahanan negara, TNI difokuskan untuk bersiap menghadapi ancaman perang dari luar yang mengancam kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam UU Pertahanan dan UU TNI. Namun demikian, dalam beberapa tahun belakangan ini terdapat perkembangan dimana militer mulai terlibat secara aktif dalam mengatasi permasalahan dalam negeri.

Keterlibatan aktif TNI dalam penanganan keamanan dalam negeri terlihat dengan masih dikirimnya pasukan TNI non-organik ke Papua dan Poso untuk mengatasi kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua , Pelibatan TNI dalam membantu Polri memang dimungkinkan, namun tugas perbantuan TNI kepada Polri baik di Papua maupun di Poso tidak dilandaskan keputusan politik negara (Pasal 5 UU TNI: keputusan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (3) UU TNI. Hal ini untuk memastikan adanya otorisasi sipil dalam menjamin akuntabilitas gelar pasukan yang diperbantukan.

Menguatnya keterlibatan TNI dalam tugas keamanan dalam negeri juga terlihat dalam rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Perpres ini memberikan kewenangan yang luas mulai dari penangkalan, penindakan hingga pemulihan dan pelibatannya tidak melalui keputusan politik negara sebagaiama amanat Pasal Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Koalisi menilai ada beberapa substansi rancangan Perpres yang bermasalah, seperti pengaturan kewenangan TNI untuk menjalankan fungsi penangkalan yang sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3). Di sisi lain, Peraturan Presiden ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait apa yang dimaksud dengan “operasi lainnya”. Masalah lainnya adalah tentang penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Rancangan Perpres. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yang menyatakan anggaran TNI hanya bersumber dari APBN.. Pelibatan TNI sebenarnya baru dapat dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya (imminent threat). Lebih dari itu, pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif serta keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system).

Berbagai MoU antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi yang belakangan ini marak dibentuk dan sering digunakan sebagai landasan bagi pelibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri merupakan langkah keliru dan secara jelas bertentangan dengan UU TNI No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya terdapat 41 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas.(Sholihul Duta)