Kelangsungan Hidup Seni Kethoprak di Pati, Ditengah Gempuran Zaman

0
96

Opini, (Duta Lampung Online) – Dalam jagad kesenian negeri ini, ketoprak menjadi salah satu icon penting yang menyuguhkan lakon cerita tentang kehidupan dan sejarah kemanusiaan. Ketoprak menjadi media pertunjukan untuk mementaskan cerita dalam seluruh segi kehidupan dan kearifan Jawa. Ketoprak menjadi media hiburan bagi warga di tengah keringnya kehidupan manusia akibat krisis yang membelit. Semacam oase yang menyejukkan kehidupan warga, media hiburan alternatif yang tetap memberikan nilai-nilai sejarah dalam setiap fragmen, kearifan lokal dan sindiran kebudayaan yang kental.

Di tengah gempuran media radio, televisi, internet dan media lainnya, Ketoprak senantiasa eksis dalam derap kehidupan warga di berbagai daerah.

Selain menjadi media hiburan, pertunjukan ketoprak juga menjadi media alternatif transfer cerita sejarah kepada masyarakat. Umumnya, lakon-lakon yang dipentaskan kesenian ketoprak seputar babad, legenda maupun sejarah yang terjadi di berbagai daerah. Cerita-cerita inilah yang kemudian menjadi kokoh dalam kehidupan warga. Cerita tentang kehidupan kerajaan Majapahit, kerajaan Airlangga, kerajaan Demak, kerajaan Ngayogjokarto, tentang kepahlawanan Gajah Mada, Adipati Unus, perjuangan Walisanga, maupun kisah unik jejak kehidupan tokoh Saridin (Syeh Jangkung) dan cerita lain yang familiar dalam kehidupan warga. Dengan demikian, kesenian ketoprak menjadi media penting yang senantiasa menjadi sejarah manusia agar tetap abadi. Pada titik inilah, perjuangan penggiat seni ketoprak patut diapresiasi. Di tengah krisis kebudayaan bangsa ini, perjuangan penggiat kesenian lokal menjadi “ijtihad” penting, agar kesenian dan kekayaan budaya negeri ini menjadi identitas kemanusiaan bangsa.

Keterdesakan ketoprak dari ranah hiburan sehari-hari bergema di hampir seluruh wilayah cultural kebudayaan Jawa. Ada yang menyebutnya sebagai masa senja kala dalam perjalanan kehidupannya, dan lebih ekstrem lagi,  ada yang menilainya di ambang kepunahan. Namun, kondisi anomaly justru terjadi di Pati. Konon, hingga kini masyarakat di Pati masih menunjukkan sikap apresiasi yang tak mati-mati.

Kelangsungan hidup ketoprak di Pati menunjukkan raut dinamik yang energik. Di wilayah Bumi Mina Tani itu sedikitnya terdapat 35 grup ketoprak besar, yang kini sangat mungkin masih dapat membengkak di lapangan. Dari jumlah tersebut, 10 di antaranya berada dalam criteria laris tanggapan. Yaitu Siswo Budoyo (Desa Growong Lor, Kecamatan Juwana), Cahyo Mudho (Bakaran Kulon, Juwana), Langen Marsudi Rini (Growong Kidul, Juwana), Wahyu Budoyo (Ngagel, Dukuhsekti), Bangun Budoyo (Desa Karang, Kecamatan Juwana), Ronggo Budoyo (Rangga, Jaken), Dwijo Gumelar (Sidomukti, Jaken), Kridho Carito (Sumberejo, Jaken), Konyik Pati (Tlogowungu), dan Manggala Budaya (Pelemgede, Pucakwangi). Pada umumnya, ketoprak di Pati bukan ketoprak tobong (berpindah-pindah tempat untuk menyelenggarakan pertunjukan) melainkan ketoprak tanggapan (pentas karena ada permintaan untuk suatu hajatan). Grup-grup ketoprak ini biasanya pentas selain bulan Sura (Muharram) dan Pasa (Ramadhan) dalam penanggalan Jawa, Pada bulan Madilawal, Madilakir, Rejeb, Ruwah, Sawal, Apit dan Besar, dalam rangka sedekah bumi, slametan (upacara rasa syukur atas berkah Tuhan), khitanan ataupun agenda haul tokoh desa (memberi penghormatan pada tokoh desa) dan momentum lain.

Grup-grup ketoprak ini mementaskan berbagai macam lakon, semisal Syeh Jangkung (Andum Waris, Geger Palembang, Ontran-ontran Cirebon, Bedhahing Ngerom, Sultan Agung Tani, Lulang Kebo Landoh), Dalang Sapanyana-Yuyu Rumpung, Babad Juwana (Dewi Rara Pujiwati Gugur, Adipati Patak Warak Mbalelo, Maling Kapa Maling Gentiri), Rara Mendut-Pranacarita, Baron Sekeber-Rara Suli, Anda Rante, Mutamakkin dan lakon lainnya. Selain itu, naskah-naskah cerita kontemporer hasil gubahan kreatif sutradara ketoprak juga banyak bermunculan. Cerita-cerita kontemporer yang merespon kondisi sosial negeri ini, menjadi “jeda” agar penonton tak bosan dengan cerita konvensional.

Sekalipun sempat mati suri karena Dampak Covid – 19, dan kebijakan Haryanto Bupati yang tidak berpihak dengan seniman, Kembali Seni Ketoprak menggeliat,  mulai banyaknya tanggapan sejak Februari 2022 lalu.

Ditambah lagi dengan berdirinya group –  -grup ketoprak ini mementaskan berbagai macam lakon, semisal Syeh Jangkung (Andum Waris, Geger Palembang, Ontran-ontran Cirebon, Bedhahing Ngerom, Sultan Agung Tani, Lulang Kebo Landoh), Dalang Sapanyana-Yuyu Rumpung, Babad Juwana (Dewi Rara Pujiwati Gugur, Adipati Patak Warak Mbalelo, Maling Kapa Maling Gentiri), Rara Mendut-Pranacarita, Baron Sekeber-Rara Suli, ondo Rante, Mutamakkin dan lakon lainnya. Selain itu, naskah-naskah cerita kontemporer hasil gubahan kreatif sutradara ketoprak juga banyak bermunculan. Cerita-cerita kontemporer yang merespon kondisi sosial negeri ini, menjadi “jeda” agar penonton tak bosan dengan cerita konvensional.

Gerak kehidupan grup ketoprak yang semakin sempit, menjadi hal ironis di tengah agenda kebudayaan bangsa. Warga negeri ini, hendaknya mengapreasiasi grup ketoprak sebagai bagian penting khazanah kebudayaan bangsa.

Warga masyarakat sebaiknya tidak hanya memberikan penghargaan atas perjuangan penggiat ketoprak, akan tetapi undangan pentas lebih berarti daripada sekedar penghargaan sepintas. Untuk itulah, apresiasi warga dan dukungan pemerintah sangat dibutuhkan untuk melestarikan grup ketoprak di tengah ragam kesenian negeri ini. Pemerintah hendaknya memberikan ruang apreasiasi tinggi pada kelangsungan hidup grup ketoprak, dengan membangun ruang kesenian dan mengadendakan pertujukan resmi. Pertunjukan resmi  ketoprak atas prakarsa pemerintah daerah akan memberikan kesejukan bagi penggiat kesenian ketoprak. Dengan demikian, publik akan lebih mengenal ketoprak sebagai kesenian yang memanggungkan kearifan dan nilai-nilai etika kehidupan. (Sholihul Duta)