Opini Nurullah, Bedah Visi-Misi Kota Bandar Lampung Mendunia “Smart City”

0
92

OPINI-Membaca Visi-Misi salah satu pasangan bakal calon kepala daerah ( Balonkada) Kota Kota Bandarlampung, Irjen.Pol (Purn), Dr.Drs.Hi. Ike Edwin, SH,MH, dan dr.Zam Zanariah, untuk menjadikan Kota Bandarlampung dikenal mendunia, memancing jiwa journalis saya untuk mengetahui lebih jauh tentang Visi-Misi tersebut yang saya anggap sangat spetakuler dan amazing ( mengagumkan).

Dari rasa kagum tersebut, saya mennyempatkan untuk mengetahui lewat salah satu tim ahli relawan pasangan tersebut dan sekaligus secara pribadi mencoba mengartikan makna dan maksud serta tujuan Kota bandarlampung mendunia yang di cita-citakan oleh pasangan calon Ike Edwin-Zam Zanariah.

Secara sederhana tujuan untuk  menjadikan Kota bandarlampung Mendunia, saya mencoba mengambil tema persamaan program tersebut yakni “Smart leaders, for smart people to Smart Cities”.

MAKNA smart city atau kota pintar menurut pendapat ahli, sebut saja Caragliu dan Nijkamp (2009),  adalah kota yang mampu menggunakan sumber daya manusia (SDM), modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern (Information and communications technology/ICT) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat. (Wikipedia)

Banyak lagi defenisi dari para ahli tentang hal ini. Mengacu ide awal yang dicetuskan oleh perusahaan komputer IBM bahwa keberhasilan smart city harus memenuhi enam indikator, yakni masyarakat penghuni kota harus cerdas-terdidik (smart people), lingkungan nyaman dan berkelanjutan (smart environment), pertumbuhan ekonomi tinggi, masyarakat sejahtera secara finansial (smart economy), mobilitas masyarakat lancar (smart mobility), masyarakat berbudaya dan hidup berkualitas  (smart living), dan tata kelola pemerintahan yang baik, adil, demokratis, partisipatif, akuntabel (smart governance). Secara umum smart city adalah kota yang menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas layanan kota yang ramah lingkungan secara efisien dan untuk meningkatkan efektivitas interaksi dengan warganya.

Dari berbagai pendapat dan uraian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa smart city = smart people (citizen) + smart systems.

Sebagus apapun sistemnya tetapi masyarakatnya bengal, kepala batu, tak terdidik, dan tak berbudaya, ditambah pemimpin sektarian, curang, dan korup, hanya akan menghasilkan “stupid city” yang ditandai dengan kesemrawutan di sana-sini, sampah di mana-mana, banjir, macet, kejahatan merajalela, ketimpangan ekonomi, dan tingginya angka kemiskinan. Itulah yang saya rasakan pemimpin kita saat ini.

Maka dari itu, saya tertarik dengan program dan visi-misi pasangan calon, Ike Edwin dan Zam Zanariah, untuk mengubah hal tersebut menjadi lebih baik dengan program yang luar biasa. Entah mengapa saya meyakini program Smart leaders, for smart people to Smart Cities selaras dengan pasangan tersebut, sehingga saya yakin Ike Edwin-zam Zanariah akan sukses membawa Kota bandarlampung mendunia.

Sebab, sebuah smart city hanya bisa terwujud apabila masyarakatnya cerdas atau well educated, kritis, dan memiliki kesadaran tinggi untuk berpartisipasi aktif mendukung segala upaya yang baik bagi kemajuan kota untuk meraih kehidupan bersama yang lebih berkualitas. Masyarakat cerdas lebih mampu memilih para pemimpin atau eksekutif dan legislatif yang juga cerdas, memiliki visi, jujur, suka mendengar, cepat tanggap, dan mau bekerja keras semata-mata untuk kepentingan publik tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan. Dari para pemimpin seperti itu pula bakal lahir smart system atau sistem cerdas yang dapat menjawab persoalan-persoalan pembangunan sosial-budaya, fisik-lingkungan, dan ekonomi secara berkelanjutan.

“Kepribadian tersebut saya yakini ada pada pasangan Calon, Ike Edwin dan Zam zanariah”.

Persoalan-persoalan yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah tidak terintegrasinya tiga aspek pembangunan tersebut di atas. Misalnya lebih fokus pada pembangunan fisik, asyik mempercantik kota, dan mengejar pertumbuhan ekonomi (makro), tetapi memberi porsi kecil untuk aspek sosial-budaya. Atau sibuk mengurusi aspek sosial-budaya sementara fasilitas fisik tetap buruk, akibatnya tidak mampu mendukung pertumbuhan ekonomi.

“Nah ini yang terjadi saat ini yang saya rasakan sebagai penulis di Kota Bandarlampung”.

Memang sulit melepaskan persoalan-persoalan tersebut dari buruknya kepemimpinan. Pemimpin yang tidak cerdas apalagi curang hanya akan menghasilkan lebih banyak persoalan seperti ketimpangan sosial, kemiskinan, tingginya angka kriminalitas, tercipta masyarakat individualistis yang kurang memiliki rasa tanggungjawab terhadap kepentingan publik, dan banyak persoalan lingkungan antara lain tumbuhnya perumahan liar yang membentuk kawasan-kawasan kumuh, sampah tak terurus, dan banjir yang tak tertanggulangi secara baik. Seiring waktu, ketika tumpukan masalah tak tertanggulangi, sang pemimpin pun bertindak seperti pemadam kebakaran.

Dalam hal ini, sebagai warga Lampung,  Penulis menggunakan contoh kasus Kota Bandarlampung. Apakah Kota Bandarlampung mampu menerapkan konsep smart city?

Pemanfaatan ICT

Terkait pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi modern/teknologi informasi (ICT), sebenarnya Kota Bandarlampung jauh lebih unggul dari kota manapun di seluruh Indonesia.

Kota Bandarlampung juga sudah mencukupi seperti kota-kota lain dalam hal ketersediaan dan aksesibilitas jaringan internet. Sejak tahun 2012 Bandarlampung telah menjadi cyber city, yakni jaringan internet tersedia di seluruh kecamatan serta tersedianya free wi-fi  pada banyak titik. Tahun 2012 Bandarlampung juga sudah mulai menerapkan pengurusan KTP secara online, dan dengan dukungan teknologi informasi pula, sejak Januari 2012, pembuatan KTP dan Kartu Keluarga (KK) bisa dilakukan di kantor camat.  Sekarang, seluruh kelurahan di Bandarlampung telah tersedia jaringan internet.

Singkatnya, dari sisi teknologi informasi, nyaris tak ada hambatan bagi Kota Bandarlampung untuk menerapkan konsep smart city. Para pemangku kepentingan tinggal menghubungkan infrastruktur fisik, teknologi informasi, sosial, dan ekonomi-bisnis menjadi satu kesatuan sistem yang saling mendukung.

Namun, kata orang; “Ini Lampung, Bung!” Maksudnya, kendati telah didukung oleh teknologi informasi canggih, Bandarlampung tetaplah bagian dari Indonesia yang tak lepas dari persoalan-persoalan klasiknya, yakni kurang responsif, inovatif, dan kompetitif. Teknologi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal oleh para pemangku kepentingan sehingga yang terjadi adalah kurang cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan kota, pemecahan masalah kurang inovatif, dan berdaya saing lemah dibandingkan kota-kota lain di negara-negara tetangga.

Pemangku kepentingan kurang responsif dalam mengatasi persoalan kota seperti kerusakan lingkungan, banjir, dan masih mengatasi permasalahan sampah secara “tradisional”. Pembangunan kota masih kurang mempertimbangkan kelestarian alam, kurangnya kerja sama aktif yang saling mendukung (bersimbiosis) dengan institusi-institusi pendidikan/kampus, lembaga-lembaga penelitian, maupun dengan perusahaan-perusahaan yang jumlahnya mencapai ratusan. Transportasi massal pun masih mengandalkan sistem “tradisional”, maksudnya masih bergantung pada angkutan kota berupa mikrolet dan minibus.

Ada layanan bus DAMRI, namun kurang diminati warga kota karena keterbatasan daya angkut dan jadwal yang kurang sesuai dengan irama mobilitas penduduk yang umumnya bekerja di sektor industri manufaktur, perdagangan, dan jasa. Warga kota pun lebih memilih kendaraan pribadi seperti mobil dan motor serta ojek motor sebagai angkutan alternatif. Ini mengakibatkan kemacetan, terutama pada jam-jam sibuk, lantaran banyaknya kendaraan pribadi berseliweran di jalan raya.

Mestinya Kota Bandarlampung memiliki akselerasi lebih baik dibanding kota-kota lain di Indonesia bahkan mampu bersaing atau minimal menjadi  pilihan utama tumpahan industri dari berbagai negara, mengingat Kota Bandarlampung adalah ibu kotanya Provinsi Lampung.

Kendati saat ini Bandarlampung masih diminati investor dari luar daerah, posisinya sudah mulai tersaingi oleh Kabupaten-kabupaten lainnya, seperti Pesawaran, Pesisir Barat yang memiliki Wisata laut yang sangat indah. Eronisnya para pemerintah daerah masih ada yang saling menyalahkan terkait tanggungjawab terhadap permasalahan kota.

Rusun  untuk Hemat Lahan 

Uraian di atas seperti lingkaran setan saja. Kita bingung harus memulai dari mana. Apakah mencerdaskan manusianya duluan, sistemnya duluan, atau jalankan keduanya secara bersama-sama?  Di sinilah pentingnya melakukan identifikasi masalah untuk menentukan konsep smart city seperti apa yang paling tepat diterapkan pada sebuah kota. Caranya?

Berdasarkan data Tahun 2017, Kota Bandarlampung memiliki luas wilayah sekitar, 169,21 km2, jumlah kecamatan 20  dan 126 kelurahan serta jumlah penduduk sekitar 1.015.910 jiwa. Sejak awal kota ini telah dipersiapkan dan dikembangkan sebagai daerah industri, perdagangan, dan jasa serta kota pendidikan dan pariwisata. Status tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi Bandarlampung.

Daya tarik itu membuat masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong ke Bandarlampung untuk mencari pekerjaan, sehingga rata-rata pertumbuhan mencapai 1,1 persen per tahun, dengan penduduk Bandar Lampung yang membengkak dari 800.000 jiwa menjadi 1,2 juta jiwa ( data Tahun 2017).

Laju populasi cukup tinggi sementara ketersediaan lahan sangat terbatas, baik untuk kepentingan bisnis dan industri, hunian, fasilitas publik, area penyangga, dan sarana-prasarana lainnya.Terutama untuk hunian, dari waktu ke waktu pembangunan kawasan perumahan terus berkembang dan semakin banyak menghabiskan lahan. Belum lagi penyerobotan lahan, termasuk di area-area resapan dan hutang lindung atau ruang hijau,  untuk mendirikan rumah-rumah liar (ruli), termasuk di catchment area sekitar dam penampung air baku. Ditambah buruknya sistem draenase, maka banjir pun tak terhindarkan manakala curah hujan berlangsung 2-3 jam saja, sementara ketersediaan air baku di waduk-waduk justru menipis.

Karena itu, saatnya Pemerintah Kota Bandarlampung bahu-membahu menata ulang peruntukan lahan. Mulai menghemat penggunaan lahan untuk pembangunan hunian dengan mengurangi pengembangan rumah tapak (landed house) dan mengembangkan rumah susun (rusun). Masyarakat yang selama ini bermukim di ruli-ruli harus dipindahkan ke rusun dan lahan-lahan yang telah rusak atau mengalami deforestasi harus ditanami kembali sebagai hutan kota serta memperbanyak taman-taman kota.

Sayang, Pemerintah Kota Bandarlampung tampaknya kurang tegas dalam mengatasi berkembangnya permukiman liar. Penulis menduga ini ada kaitannya dengan kepentingan politik, yakni penghuni ruli dijadikan lumbung suara dalam pesta demokrasi dan bisnis oleh sejumlah oknum. Imbalannya mereka tidak boleh digusur. Padahal, jika memang berniat baik untuk kepentingan warga, pemerintah bisa membangun rusun dan memindahkan mereka ke sana, sebagaimana yang sedang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta.

Penulis yakin apabila ada kemauan baik dan hubungan harmonis antara Pemerintah Kota Bandarlampung mampu menjalin simbiosis mutualisme dengan perusahaan-perusahaan, lembaga penelitian, dan dunia pendidikan, niscaya Bandarlampung akan menjadi kota pertama di Indonesia yang sukses mewujudkan konsep smart city, sebuah kota yang maju, tertib-teratur, inovatif, lestari, dan nyaman bagi jutaan penghuninya.

Oleh karena itu, saya sangat mendukung visi-misi pasangan calon, Ike Edwin-Zam Zanariah, yang ingin menciptakan Kota Bandarlampung dikenal mendunia dengan programnya yaitu,  Smart leaders, for smart people to Smart Cities, sehingga untuk menjadikan Kota Bandarlampung yang sehat dan bermartabat, Sehat Ekonominya, Pendidikannya, Masyarakatnya, Agamanya, Pariwisatanya dan Keamanannya betul-betul akan terwujud.

Penulis juga mohon maaf jika dalam mengartikan Bandarlampung mendunia kurang pas dengan Visi-Misi dari pasangan calon, Ike Edwin-Zam Zanariah. Semoga kajian kota pintar (smart city) dapat bermanfaat husunya bagi penulis dan umumnya pembaca.(*).

Penulis : M. Nurullah RS

(Direktur, PT. Duta Lampung Media dan PT. Pena berlian Lampung).